Bila pandangan mata teramat sulit ‘tuk dikendalikan,
Bila dirinya yang didamba ternyata bukan sebaik-baiknya pilihan,
‘Kan kutemukan pujaan baru untuk kubawa ke gerbang pernikahan.
(Fadlan Al-Ikhwani, “Kujemput Jodohku”)
Chaii,
begitulah teman-teman di kampus memanggilku. Aku adalah seorang
mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat di sebuah Universitas terkemuka
di Kalimantan. Selain menjadi mahasiswa, aku juga bekerja sampingan
sebagai hamba Allah yang menggeluti dunia da’wah kampus. Walaupun aku
menyadari aku masih banyak memiliki keterbatasan pengetahuan tentang
islam, tapi aku berusaha keras untuk terus belajar mendalami ajaran
Rasulullah untuk menjadi hamba Allah yang lebih baik di setiap hari-hari
yang aku lalui. Aku tinggal terpisah dengan orang tuaku lantaran di
kota kelahiranku tidak ada perguruan tinggi sehingga aku harus ke Ibu
kota untuk menimba ilmu dan mewujudkan cita-citaku. Studiku telah
berjalan kurang lebih sekitar 3 tahun dan kini sudah mulai memasuki
tahap skripsi. Seiring berjalannya waktu tanpa terasa usiaku telah
menginjak 21 tahun. Sebagian menganggap aku telah dewasa di usiaku saat
ini yang memang sudah waktunya aku untuk mencari pasangan hidup menuju
ikatan yang lebih serius dengan seorang pria, namun entah mengapa hati
ini masih enggan memutuskan untuk menyegerakannya. Bukan bermasalah
dengan orang tua yang tidak memberikan izin, justru orang tuaku dan
keluarga sangat mendukungku untuk menikah di usia sekarang. Alasannya
yang mendasari aku untuk menunda karena aku ingin menyelesaikan amanah
kuliahku terlebih dahulu agar nantinya tak menjadi beban ketika aku
sudah hidup berumah tangga. Setahuku menikah itu tidak semudah yang
dibayangkan, banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk memulai
kehidupan baru yang lebih menekankan kepada tanggung jawab pada
keluarga. Lagipula aku belum menemukan sang pangeran yang pas di hati
hingga saat ini. Alasan lain mungkin berkaitan dengan pengalamanku di
masa lalu yang pernah terjadi beberapa waktu lalu, begini ceritanya.
Siapa bilang akhwat
tidak memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Walau bagaimanapun
akhwat juga manusia, memiliki hati dan perasaan. Hanya saja lebih
sensitif dan peka dibandingkan dengan perasaan ikhwan karena begitulah kodrat seorang wanita. Aku
juga pernah mengalami fase-fase seperti itu, dimana mulai muncul
ketertarikan dengan seorang ikhwan. Berawal dari rasa kagum semata
karena sosok ikhwan itu adalah seorang aktifis da’wah yang sudah malang
melintang di dunia da’wah kampus. Hingga kemudian rasa itu berlanjut
menjadi simpati dan aku menjadi ingin tahu lebih jauh mengenai ikhwan
itu. Sejenak perasaan itu dapat dikendalikan, hanya saja entah mengapa
aku tak dapat menahan diri, sepertinya yang aku alami sudah hampir
melampaui batasan yang telah ditentukan syariat. Aku kalah dengan rayuan
syeitan yang mengatasnamakan cinta. Menuruti apa yang dibuatnya indah
dalam pikiranku yang sebenarnya adalah dosa dan hanya keindahan sesaat.
Aku sudah menyerah kali itu ketika terserang yang namanya virus merah
jambu alias VMJ, walaupun awalnya hanya sepihak dari diriku saja.
Berbulan-bulan
aku memendamnya, rasanya tak tahan juga apabila perasaan ini tak
terbalaskan. Ku coba untuk menarik perhatiannya lewat pertemanan kami di
situs jejaring sosial di internet yang sedang marak pada saat itu. Dari
situlah komunikasi di antara kami terjalin walaupun tak intensif.
Ketika dia sedang online pada fasilitas chating yang
ada di situs tersebut itulah kesempatan yang aku gunakan untuk
berkomunikasi dengannya. Dia juga merespon, seolah memberikan umpan
balik kepadaku lewat perhatiannya yang sempat membuatku kebingungan
mengartikannya. Semua berjalan selama hampir 6 bulan dengan komunikasi
yang menurut kami aman untuk saling berinteraksi. Jika kami bertemu di
kampus, aku hanya bisa menatapnya atau sekedar curi-curi pandang dari
kejauhan karena takut ketahuan dengan teman-teman ikhwah yang
lain, tetapi jika di chating serasa dunia menjadi milik sendiri karena
saat itu aku saja yang merasakan perasaan yang berbeda seperti ada yang
bergejolak dalam dada ketika berinteraksi dengannya tanpa aku tahu apa
dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang sama. Lama kelamaan aku pun
tak bisa memendamnya sendirian, akupun akhirnya menceritakan semua yang
telah terjadi pada guru ngajiku dan sahabat-sahabatku dekatku. Aku
sempat mendapat teguran dari guru mengajiku dan teman-teman sesama
akhwat bahwa apa yang aku lakukan sudah masuk dalam kategori kemaksiatan
yang sudah melanggar batasan. Mereka ingin aku mengakhiri hubungan itu
dan segera bertaubat pada Allah. Bahkan guru ngajiku sampai menawarkanku
untuk segera menikah dengan seorang ikhwan agar menghindarikan diriku
dari fitnah. Aku tahu itu kesalahanku, tak seharusnya aku lakukan
apalagi aku dikenal sebagai seorang akhwat yang pada dasarnya adalah
seorang aktifis da’wah yang mengerti akan amal ma’ruf nahi munkar.
Sekali lagi aku tegaskan bahwa akhwat itu juga manusia, rasa cinta itu
fitrah. Hasrat ingin memiliki pendamping itu pasti ada pada diri setiap
insan hanya saja kembali pada waktu dan caranya yang seharusnya dijalani
dengan ahsan. Aku menyadari
sebenarnya aku telah melakukan kesalahan namun kekhilafan itu ternyata
hanya bersifat sementara. Sehari dua hari, ada niat ingin mengakhiri
hubungan itu sebelum berlanjut ke hubungan yang dapat mendekatkan diri
dengan zina. Namun itu tak bertahan lama, hari-hari selanjutnya mulai
kembali tercelup lagi dalam bujuk rayuan syeitan, karena hawa nafsu yang
tidak dapat dikendalikan. Komunikasi itu berlanjut lagi, muhasabah yang
kemarin seakan-akan hilang dari ingatan layaknya orang yang amnesia.
Hati yang tadinya kuat dan tsiqoh menjadi
goyah bagai pohon yang di terpa angin kencang. Ketika namanya muncul di
dalam kolom chat, tangan terasa gatal jika tidak mengetik tuts-tuts
keyboard walaupun hanya sekedar bertanya kabar atau menyapanya dengan
salam. Ternyata seiring berjalannya waktu terlintas dipikiranku untuk
berharap padanya, apabila suatu saat sudah waktunya untuk kami mencari
pasangan akupun menaruh harapan semoga dapat berjodoh dengannya. Saat
itu aku layaknya orang buta yang berjalan sendirian seolah-olah memiliki
sepasang mata yang dapat difungsikan. Terlalu percaya diri, namun tak
memikirkan akibat dari harapan yang sebenarnya belum tentu akan terjadi
karena tak menyadari bahwa sesungguhnya rezeki (jodoh) sudah
dituliskan-Nya dengan rapi dalam lauh mahfudz-Nya.
Mungkin
Allah tidak tega juga melihatku terlalu lama tenggelam dalam
kemaksiatan yang menjauhkan hatiku dari pemilik-Nya. Lalu melalui
skenario-Nya akhirnya akupun mulai tersadarkan dari kesalahanku dengan
cara yang tak terduga. Pada waktu itu aku berjalan-jalan di toko buku,
iseng-iseng aku ke deretan rak buku-buku islam. Disitu aku mendapatkan
sebuah buku yang berjudul “Kujemput Jodohku” karya Fadlan Al-Ikhwani.
Karena penasaran aku membacanya sekilas, sambil membolak-balik halaman
demi halaman. Aku terpikir untuk membelinya karena sepertinya isinya
cukup menarik. Lagupula aku juga sudah lama tidak menambah koleksi buku
di lemariku mengenai islam. Akhirnya aku membelinya, namun sesampai di
rumah akupun tak sempat membacanya, ada saja halangan yang membuatku
selalu tertunda untuk membacanya hingga tamat seperti tugas kuliah,
syuro-syuro, dan kegiatan lain yang menyita waktuku. Tetapi kembali
skenario-Nya seolah mengambil alih peranan dalam kehidupanku. Tak lama
bebarapa hari setelah aku memiliki buku itu, aku mendengar kabar bahwa
ikhwan yang aku puja-puja selama ini ternyata sedang mengincar akhwat
lain yang saat itu sedang dekat dengannya, tapi bukan aku. Ada rasa
sedih, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu. Ternyata dia bukan
ikhwan yang baik seperti yang ku pikirkan. Jadi selama ini perhatian
yang ia berikan kepadaku hanya iming-imingan belaka. Ataukah mungkin aku
yang menyalahartikan perhatian yang telah ia berikan sehingga membuatku
terperangkap dalam cinta semu yang membutakan hatiku. Buktinya denganku
saja ia tak bisa menjaga hijabnya apalagi dengan akhwat-akhwat lain.
Barulah aku menyadari betapa terlambatnya aku berpikir seperti itu.
Mungkin kemarin karena terlalu terbuai dalam kenikmatan nafsu sesaat,
hingga segala sesuatu yang sebenarnya sudah menyalahi syariat malah
dianggap sebagai suatu kebaikan. Itulah cinta yang bisa mematikan hati,
yang akhirnya menjadikan diri menolak apa yang seharusnya memang menjadi
suatu kebenaran. Setelah merasakan sakitnya hati, seraya akupun baru
menyesali apa yang telah aku perbuat sewaktu kemarin ternyata adalah
perbuatan yang sia-sia. Tidak bermudharat
malah sebaliknya menyisakan luka pada hati sendiri. Ketika patah hati
berimbas pada semua hal, makan tidak berselera, rasanya ingin menyendiri
saja seharian di kamar dan jika tiba-tiba terbayang wajahnya, teringat
akan perhatiannya, mata seolah berat tak sanggup lagi menampung air mata
yang ingin tertumpah menyesakkan dada. Syuro menjadi tak bersemangat,
mengerjakan tugas kuliah ogah-ogahan, menjadikan diri semakin tidak
produktif. Ketika itu aku mulai kebingungan harus bagaimana, semua yang
aku kerjakan terasa bosan. Aku ingin mencari sesuatu hal yang dapat
menhibur hatiku yang sedang kalut saat itu. Sebenarnya tak berniat ingin
membaca buku apapun namun ketika aku membuka lemari buku milikku, buku
“Kujemput Jodohku” itu berdiri kokoh tepat paling depan dibarisan
koleksi buku-bukuku seolah menawarkan obat untuk menawarkan sakit hati
yang sedang aku alami. Dari kejadian itulah pada akhirnya aku
mengkhatamkan bacaan buku itu setelah beberapa waktu yang lalu selalu
tidak sempat. Setelah membacanya ternyata isinya sangat menggugah hatiku
yang sedang terinfeksi penyakit hati karena sang pujaan hati lebih
memilih menebarkan pesona mautnya pada akhwat lain. Buku itu seolah
jawaban atas kesedihan agar aku menjadi akhwat yang semakin kuat ketika
ditempa ujian yang berhubungan dengan perasaan, hati dan cinta.
Alhamdulullah, aku sangat bersyukur kepada Allah karena segera
menunjukkan padaku sifat asli ikhwan itu sebelum semua berjalan semakin
jauh.
Kecewa,
itu sudah pasti aku rasakan, namun kekecewaan itu lebih kepada
penyesalan dimana cinta yang seharusnya lebih utama ku berikan pada Sang
Pemilik Cinta mengapa begitu mudahnya aku letakkan pada orang yang
sepenuhnya belum ada ikatan yang halal denganku. Akibat dari rasa cinta
yang tak dapat aku kendalikan malah menyengsarakan diriku. Bagaimana
rasanya rindu, bagaimana rasanya cemburu, bagaimana rasanya patah hati
semuanya membuat sengsara diri ketika hal itu mulai mewarnai cerita dari
perjalanan cinta yang ku lalui. Setelah kejadian itu baru terbesit
pertanyaan-pertanyaan di hati, apakah aku tidak menyadari bahwa Sang
Pemilik Hati selama ini merasa cemburu dengan kelakuanku yang tidak
dapat menjaga hatiku untuk-Nya dan untuk orang yang nantinya akan Dia
pilihkan untukku? Seenaknya saja aku membaginya untuk orang yang belum
tentu nantinya orang akan menjadi pelabuhan terakhir dihatiku. Diriku
hanya bisa bermuhasabah dan bertaubat atas apa yang telah aku perbuat
karena pada dasarnya manusia selalu menyesali perbuatannya ketika ia
telah mendapat ujian dari Rabb-Nya. Dan dari setiap kesalahan yang
pernah diperbuat, Allah pasti menginginkan perubahan dari dalam diri
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setiap kisah selalu menampilkan
penyesalan di akhir perjalanan namun pasti ada hikmah yang terselip dari
apa yang sudah di skenariokan-Nya. Ketika niat di hati ingin mengakhiri
perbuatan itu cukup kuat, ada saja kerikil-kerikil kecil yang
menghalanginya. Melupakan bayang-bayang ikhwan itu saja bagiku tidaklah
mudah. Semua butuh waktu dan proses untuk mengembalikannya seperti
semula seperti ketika sebelum ada apa-apa diantara kami. Apalagi jika di
suatu kesempatan harus terlibat dalam suatu kepanitiaan acara di
kampus, mau tidak mau suka tidak suka selalu bertemu. Awalnya terkadang
masih terkenang masa lalu tapi, Alhamdulillah berkat perjuangan dan
kemauan keras dari dalam diri untuk memperbaiki kelalaian hati disertai
dukungan dari sahabat-sahabat tercinta membuatku semakin ceria,
mengairahkan kembali semangat untuk menjalankan da’wah dan membuang
jauh-jauh perasaan yang sempat mengotori hati di masa lalu.
Belajar
dari pengalaman ini, aku tidak ingin hal itu terulang kembali suatu
hari nanti. Karena sungguh tidak enak yang namanya patah hati. Kini aku
semakin berhati-hati dalam menempatkan hati. Semoga ini bukan sebuah
trauma yang berkepanjangan yang membuatku kapok untuk jatuh cinta lagi
pada seseorang yang nantinya memang halal untuk ku cintai. Karena
bagaimanapun aku hanyalah manusia biasa yang juga memiliki keinginan
untuk membangun rumah tangga dalam sebuah ikatan pernikahan. Seperti
kata-kata Ustadzah Cici dalam suatu kajian kemuslimahan di kampus yang
aku baru-baru ini aku ikuti, beliau berpesan bahwa yang terbaik akan
datang pada jalan yang baik dan waktu yang terbaik ‘sesuai syariat’.
Jadi apabila dia memang bukan sebaik-baiknya pilihan maka suatu saat
nanti pasti akan kutemukan pujaan baru untuk kubawa ke gerbang
pernikahan.(chaii)
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar