Senin, 03 Februari 2014

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM



Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu kerja.”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan
suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah
kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya Allah. Amiin !
Itu saja. Dan terima kasih.
SUMBER: http://berkarya.um.ac.id/2011/05/01/pemimpinan-

Jumat, 31 Januari 2014

HUKUM PERTANAHAN MENURUT SYARIAH ISLAM* Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**

Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi') tanah. (Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam, hal. 39).
Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 128). Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Para fuqaha itu misalnya Imam Abu Yusuf (w. 193 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, Imam Yahya bin Adam (w. 203 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, dan Imam Abu Ubaid (w. 224 H) dengan kitabnya Al-Amwal. Sebagian ulama seperti Imam Al-Mawardi (w. 450 H) membahas pertanahan dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah yang membahas hukum tata negara menurut Islam. Demikian pula Imam Abu Ya'la (w. 457 H) dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah.
Pada masa modern kini pun tak sedikit ulama yang membahas hukum pertanahan dalam perpektif Islam. Misalnya Abdul Qadim Zalum (w. 2003) dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Athif Abu Zaid Sulaiman Ali dalam kitabnya Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam (1416 H), dan Amin Syauman dalam kitabnya Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa (t.t.).
Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas hukum pertanahan dalam Syariah Islam, khususnya yang terkait dengan kepemilikan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
2. Filosofi Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi --termasuk tanah-- hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya),"Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)." (QS An-Nuur [24] : 42). Allah SWT juga berfirman (artinya),"Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Al-Hadid [57] : 2).
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-'Ammah fil Islam, hal. 19).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),"Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya." (QS Al-Hadid [57] : 7). Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, "Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT." (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.
Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja (Syariah Islam). (Abduh & Yahya, Al-Milkiyah fi Al-Islam, hal. 138). Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT (artinya),"Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." (QS Al-Kahfi [18] : 26).
3. Kepemilikan Tanah dan Implikasinya
Kepemilikan (milkiyah, ownership) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. (idznu asy-Syari' bi al-intifa' bil-'ain). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 73). Kepemilikan tidaklah lahir dari realitas fisik suatu benda, melainkan dari ketentuan hukum Allah pada benda itu. (Abdul Ghani, Al-'Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 8).
Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait dengan tanah, yaitu : (1) zat tanah (raqabah al-ardh), dan (2) manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.
Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu : (1) tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Termasuk tanah usyriah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya`ul mawat). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya (raqabah), maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.
Tanah usyriyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat pertanian) sebesar sepersepuluh (10 %) jika diairi dengan air hujan (tadah hujan). Jika diairi dengan irigasi buatan zakatnya 5 %. Jika tanah pertanian ini tidak ditanami, tak terkena kewajiban zakatnya. Sabda Nabi SAW,"Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh." (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
Jika tanah usyriah ini tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukiman penduduk, tidak ada zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 240).
Jika tanah usyriah ini dibeli oleh seorang non muslim (kafir), tanah ini tidak terkena kewajiban usyr (zakat), sebab non muslim tidak dibebani kewajiban zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal, hal. 48).
Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).
Tanah kharajiyah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah kharajiyah. Namun manfaatnya adalah milik individu. Meski tanah tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 303).
Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap dipungut.
Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb), kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non muslim kepada muslim. Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap memungut kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk Islam. (Zallum, ibid., hal. 47; Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 245).
Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan perdamaian (al-shulhu), maka ada dua kemungkinan : (1) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslimin, kharajnya bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (2) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik mereka (non muslim), kedudukan kharaj sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (Zallum, ibid., hal. 47).
Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian, misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat (usyr). Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena kewajiban zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 247).
Namun kadang kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharaj abadi), lalu tanah itu dijual kepada muslim (akan terkena zakat/usyr). Dalam kondisi ini, kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib dikeluarkan. (Zallum, ibid., hal. 49).
4. Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah
Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui : (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).
Mengenai jual-beli, waris, dan hibah sudah jelas. Adapun ihya`ul mawat artinya adalah menghidupkan tanah mati (al-mawat). Pengertian tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya, menanaminya dengan pohon, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW,"Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari) (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 79).
Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ahmad).
Sedang iqtha`, artinya pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Nabi SAW pada saat tiba di kota Madinah, pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi SAW juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam. (Al-Nabhani, ibid., hal. 119).
5. Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian
Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. (Al-Nabhani, ibid., hal. 136).
Umar bin Khaththab pernah berkata,"Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan." Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma' Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW) dalam masalah ini. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 241).
Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang dimiliki dengan cara-cara lain tas dasar Qiyas. Misalnya, yang dimiliki melalui jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 139).
6. Pemanfaatan Tanah (at-tasharruf fi al-ardh)
Syariah Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan Khalifah Umar bin Khathab memberikan bantuan sarana pertanian kepada para petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka.
Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya." (HR Bukhari).
Jika pemilik tanah pertanian menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, maka hak kepemilikannya akan hilang, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
7. Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang). (Al-Nabhani, ibid. hal. 141).
Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).
Larangan ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.
8. Tanah Yang Memiliki Tambang
Tanah yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan : (1) tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit. (2) tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta). (Al-Nabhani, ibid. hal. 220).
9. Negara Berhak Menetapkan Hima
Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu. Misalnya menetapkan hima pada suatu tambang tertentu, katakanlah tambang emas dan perak di Papua, khusus untuk keperluan membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu. Rasulullah SAW pernah menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya. (Zallum, ibid., hal. 85).
10. Penutup
Demikianlah sekilas beberapa hukum pertanahan dalam Islam. Sudah selayaknya hukum-hukum ini terus menjadi bahan kajian umat Islam, untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan kita guna menggantikan hukum warisan penjajah yang kafir. Wallahu a'lam. [ ]
= = = =
*Disampaikan dalam Pengajian dalam rangka Peringatan Hari Agraria Nasional ke-49, dengan tema Tinjauan Hukum Pertanahan Sesuai Al-Qur`an dan Al-Hadis, Selasa 27 Oktober 2009, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, di Aula Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Jl Trirenggo, Bantul.
**KH. Ir. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, MSI. Alumnus Fakultas MIPA IPB (S-1) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (S-2). Pernah nyantri di PP Nurul Imdad dan PP Al-Azhar, Bogor. Sekarang konsultan hukum Islam di tabloid Media Umat Jakarta (www.mediaumat.com), dosen tetap STEI Hamfara Yogya, dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogya.
DAFTAR BACAAN
Abdul Ghani, Muhammad, Al-'Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.
Al-Baghday, Abdurrahman, Serial Hukum Islam : Penyewaan Tanah Lahan, Kekayaan Gelap, Ukuran Panjang, Luas, Takaran dan Timbangan, (Bandung : Alma'arif), 1987
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, (Makkah : Rabithah al-'Alam al-Islami), 1416 H
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, (t.tp : Hizbut Tahrir), 1963
Al-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), 2003
----------, Al-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2004
Ghadiy, Yasin, Al-Amwal wa Al-Amlak al-'Ammah fil Islam, (Mu`tah : Mu`assasah Raam), 1994
Abduh, Isa & Yahya, Ahmad Ismail, Al-Milkiyah fi Al-Islam, (Kairo : Darul Ma'arif), t.t.
Johansen, Baber, The Islamic Law on Land Tax and Rent, (London-New York-Sydney : Croom Helm), 1988
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukum Islam, (Yogyakarta : Gama Media), 2008
Salasal, Siti Mariam Malinumbay S., The Concept of Land Ownership : Islamic Perspectif, dalam Buletin Geoinformasi, Jilid 2, No 2, hlm. 285-304, Penerbitan Akademik Fakulti Kejuruteraan & Sains Geoinformasi, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai, Desember 2004
Sait, M. Siraj, The Relevance of Islamic Law Land for Policy and Project Design, Makalah dalam Conference on Challenge for Land Policy and Administration, The World Bank, Washington DC, 14-15 Pebruari 2008.
Suhartono, Titik Singgung Hak Tanggungan Atas Tanah dengan Hukum Perwakafan, (t.tp : t.p.), t.t.
Syauman, Amin, Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa, (t.tp. : t.p) : t.t.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2004

Detik-Detik Wafatnya Ibunda Nabi Isa as Posted by Kisah Islami Teladan

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ketahuilah bahwa semua manusia, kelak pasti akan mengalami mati. Akan mengalami kehidupan di alam Barzakh.
Begitu pula dengan Maryam, ibu dari Nabi Isa as.
Di alam kubur, Maryam mendapatkan tempat yang nyaman.



Kisahnya

Nabi Isa as ini pernah merasakan kehilangan yang sangat luar biasa.
Bagaimana tidak, pada saat ibunda tercintanya meninggal, Nabi Isa as tidak berada di sisinya.

Maryam menghembuskan nafas terakhirnya di atas sebuah gunung.
Pada saat itu, Nabi Isa as merasakan kehampaan yang luar biasa. Sosok ibu yang sangat beliau sayangi dan selalu menjadi teman curhatnya telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Begitu sedihnya Nabi Isa as, hingga saat dirinya turun gunung untuk meminta bantuan kaum Bani Israil untuk mengurus jenazah ibunya, tapi tak seorang pun dari mereka yang bersedia membantu.
Nabi Isa as pun kembali naik ke atas gunung dimana jenazah ibunya berada.

Maryam Dimandikan Bidadari

Gelisah dan gelisah yang Nabi Isa as rasakan.
Namun tak lama setelah itu, Allah SWT mengutus Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail agar tutun ke bumi dengan membawa serta bidadari untuk mengurus jenazah ibunda Nabi Isa as.

Setelah bertemu dengan para malaikat dan para bidadari, Nabi Isa as pun segera meminta pertolongan untuk memakamkan jenazah ibunya.
Saat itu, Malaikat Jibril berhadapan dengan Nabi Isa as dan berkata,
"Aku ini sebenarnya adalah Malaikat Mikail dan sahabatku ini adalah Malaikat Jibril. Aku sudah membawakan obat tubuh dan kain kafan dari Tuhanmu dan para bidadari cantik jelita sekarang sedang turun dari surga untuk memandikan dan mengkafani ibumu."

Begitu mendengar penuturan Malaikat Mikail tersebut, Nabi Isa as pun sangat bahagia.
Tak lama kemudian, Malaikat Jibril menggali kubur di atas gunung untuk makam Ibunda Nabi Isa as.

Ketika para bidadari telah sampai di bumi, mereka langsung memandikan dan mengkafani jenazah Maryam.
Setelah itu, jenazah Maryam dishalatkan kemudian dikuburkan.

Nabi Isa as pun berdoa kepada Allah SWT,
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau mendengar kata-kataku dan tidak sedikitpun urusanku yang tersenbunyi dari-Mu. Ibuku kini telah meninggal, sedangkan aku tidak menyaksikan sendiri ketika dia wafat. Olah karena itu, izinkanlah dia (Maryam) berkata sesuatu kepadaku."


Maryam Bahagia Dalam Kubur

Tak lama setelah Ibunda Nabi Isa as dimakamkan, Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya Aku telah memberi izin kepadanya."

Mendengar Firman Allah SWT tersebut, Nabi Isa as pun langsung pergi ke makam ibunya.
Setelah sampai di makam, Nabi Isa as berkata,
"Assalamuualaiki ya ibu, bagaimanakah dengan tempat pembaringanmu dan tempat kembalimu dan bagaiman pula kedatangan Tuhanmu?"

Betapa Sakitnya Saat nyawa Dicabut

Maryam berkata,
"Tempat pembaringanku dan tempat kembaliku adalah sebaik-baik tempat, sedangkan aku menghadap kepada Tuhanku, aku tahu bahwa Dia telah menerimaku dengan rela."
"Wahai ibu, bagaimanakah rasa sakitnya mati?" tanya Nabi Isa as.

"Demi Allah SWT yang telah mengutusmu sebagai nabi dengan sebenar-benarnya, belum hilang rasa pedihnya mati aku rasakan hingga sekarang. Demikian pula rupa Malaikat Maut yang belum hilang dari pandangan mataku. Alaikassalam, wahai kasih sayangku sampai hari kiamat," jawab Maryam yang mengakhiri percakapannya.

Nabi Isa as pun merasa lega karena ibundanya telah mendapatkan nikmatnya kubur.

Nabi Isa pada detik-detik terakhir meninggalnya Maryam, beliau turun gunung untuk mencari kayu bakar dan makanan yang digunakan untuk berbuka puasa nantinya.
Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa Maryam meminta penundaan untuk mati sampai kembalinya Nabi Isa as. namun permintaan tersebut ditolak dengan tegas oleh Malaikat Maut.

Ibunda Maryam meninggal pada saat sedang menunaikan shalat, dikira Nabi Isa as, ibunya tengah menjalankan shalat hingga Nabi Isa pun turut juga melaksanakan shalat hingga pagi menjelang.
Setelah pagi inilah Nabi Isa as baru sadar, bahwa ibunya telah berpulang ke Rahmatullah.
Subhanallah....

Wassalamu'alaikum wr. wrb.

Sabtu, 16 November 2013

Ketika Rindu sudah mulai tak terbendung lagi

Kuusap butir-butir air mata yang mulai mengalir dari sudut mataku,kumatikan layar kaca sambil terisak, sudah berkali-kali kami menonton film ini dan berkali-kali pula  kami semua menagis.
“emak Naik Haji”
he…he…sudah agak basi memang,tapi, untuk hari ini cukup untuk mengobati rasa kangenku pada Mekah.  Waktu setahun ternyata berlalu sangat cepat,tak terasa  setahun sudah berlalu, sepertinya ruhku telah mendahuluiku sampai ke tanah haram,
Rasa syukur tak terperi saat bisa kuinjakkan kaki ke tanah haram,rasa rindu tertumpahkan di saat aku bisa bersholawat dr dekat makan beliau,merasa beliau tersenyum padaku,beliau di dekatku dan beliau menjawab setiap salam yang aku lantunnkan untuk Nya.
Dan hari ini,film ini telah berhasil Mengilik-ngilik nuraniku, menghadirkan kembali kerinduan,kesyahduan saat berasyik masyuk dengan doa doa yang mengalir dari mulut dengan air mata yang mengalir deras di pipi,
kuakui,aku tak selalu ingat saat manis itu, kerinduan itu selalu datang dan pergi yah, mungkin karena kesibukan atau karena obsesi kita yang terlalu individual sehingga terkadang kita melupakan kerinduan bahkan  lingkungan kita….
tergambar juga obsesiku 3 th yang lalu…
pasca umrohku yang pertama…betapa aku mengalami keadaan yang seperti aku alami hari ini…
Rindu…rindu yang amat sangat,
sampai-sampai dalam mimpiku pun terbawa kerinduan ini…
aku tercenung…menembus mimpi malam itu….
berada di sebuah kampung…yang semua penduduknya gembira…
Aroma harum masakan mulai tercium dari dapur umum tempat para  wanita mempersiapkan hidangan….
Anak-anak kecil berlarian….berebut…pohon Kurma mana yang akan mereka naiki untuk mengintai…
Para ayah…sibuk mempersiapkan tempat yang terbaik yang akan diduduki lelaki Agung…
Semua tampak gembira…ku pandang langit saat itu cerah…cuaca sejuk meski matahari bersinar terang
tiba-tiba seorag pengintai diatas pohon Qurma berteriak…
“Lelaki itu sudah datang…Muhammad Rosululloh telah datang…”
seketika…berr…kamipun berhamburan…ke luar…anak-anak berlomba berlari secepat cepatnya agar bisa sampai ke atas pohon…mengintai…seringai bahagia di wajah mereka…tanda mereka sudah melihat lelaki agung itu…
sayup sayup terdengar pujian …Tola’al badru…alaina min sani ya til wada…wa jaba..syukru alaina min sani ya til wada’i
rasa haru mulai menyergapku…subhanalloh…wal hamdulillah…akhirnya aku bisa bertemu dg lelaki yang semua muslim ingin bertemu dengannya…
kupanjatkan rasa syukurku…
“Subhanalloh…wal hamdulillah…wa la illa ha ilalloh..Allohu Akbar….”
rasa haru sudah di luar kendaliku…nafasku sesak… terasa sakit tenggorokannku…air mata apalagi…jelas sudah tak terkendali mengucur dg sangat liar…hingga tubuhkupun terasa bergoncang keras….semakin keras hingga membuatku pun terusik….
tiba-tiba terdengar…”mi…ummi…bangun…ummi mimpi ya…istigfar sayang…ayo…buka matanya…”
mendengar suara gaduh dan tubuh yang di goncang spontan ku buka mataku…ku pandangi mata suamiku yang tampak khawatir …
“Abi…kataku tetap dg suara tangisku…kenapa di bangunin….padahal tinggal beberapa menit lagi Rosul mau datang ke madinah…sebentar lagi ummi mau ketemu Rosul….kenapa di bangunin…”
“Ha..Madinah…nabi…istigfar sayang…kita teh di bandung…bukan di madinah…” katanya masih dg suara yang agak tinggi…
tapi demi melihatku tersedu sedan…suaranya mulai melembut…
“Ummi mimpi yah….mimpi ketemu Rosul mi…ketemu nggak..” .katanya sambil merangkul tubuhku kedalam pelukannya…
“Hue…hue…”tangisku dalam pelukannya…
padahal tinggal sebentar lagi…Rasa sesalku membuat malam itu malam yang sangat sulit bagiku untuk memejamkan mata kembali setelah mimpi….
“masih terasa bi…suasananya…masih terasa bi…kegembraan dan kebahagian mereka menyambut datangnya Rosul….”
kataku memecah kesunyian…karena ku lihat mata suamiku pun sudah mulai basah….
“Rupanya ummi belum cukup sholeh ya…ketemu dg Rosululloh…meski dalam mimpi…”
suamiku tersenyum…mahfum dgn sifatku…kalo lagi melankolis begini pasti akan banyak lagi air mata yang tertumpah malam itu…
kita berdoa aja yuk…wudu…bermunajat…agar mimpi ummi bisa di sambung kembali…di malam-malam yang lain….
berdua kami menangish…yah…menangis menahan rindu tak berujung…
Ya Robbana…ijinkan kami bertemu dengan Rosulmu….meski hanya dalam sebuah mimpi….
“Allohumma innii as aluka imanan la yartaddu, la naiman la yan fadu,wa Qorota ainin abada…
wa muro faqota nabiyyika Muhammad saw fii jannatil khuldi….”
Ya Alloh sesungguhnya aku memohon keimananyang menutup jalanku untuk Murtad,memohon kenikmatan yang tidak akan habis,penyejuk hati yang abadi dan menemani nabimu Muhammda SAW di syurga yang abadi…” Aamiin….

KETIKA CINTA MEMBUTAKAN HATI

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Bila pandangan mata teramat sulit ‘tuk dikendalikan,
Bila dirinya yang didamba ternyata bukan sebaik-baiknya pilihan,
‘Kan kutemukan pujaan baru untuk kubawa ke gerbang pernikahan.
(Fadlan Al-Ikhwani, “Kujemput Jodohku”)

Chaii, begitulah teman-teman di kampus memanggilku. Aku adalah seorang mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat di sebuah Universitas terkemuka di Kalimantan. Selain menjadi mahasiswa, aku juga bekerja sampingan sebagai hamba Allah yang menggeluti dunia da’wah kampus. Walaupun aku menyadari aku masih banyak memiliki keterbatasan pengetahuan tentang islam, tapi aku berusaha keras untuk terus belajar mendalami ajaran Rasulullah untuk menjadi hamba Allah yang lebih baik di setiap hari-hari yang aku lalui. Aku tinggal terpisah dengan orang tuaku lantaran di kota kelahiranku tidak ada perguruan tinggi sehingga aku harus ke Ibu kota untuk menimba ilmu dan mewujudkan cita-citaku. Studiku telah berjalan kurang lebih sekitar 3 tahun dan kini sudah mulai memasuki tahap skripsi. Seiring berjalannya waktu tanpa terasa usiaku telah menginjak 21 tahun. Sebagian menganggap aku telah dewasa di usiaku saat ini yang memang sudah waktunya aku untuk mencari pasangan hidup menuju ikatan yang lebih serius dengan seorang pria, namun entah mengapa hati ini masih enggan memutuskan untuk menyegerakannya. Bukan bermasalah dengan orang tua yang tidak memberikan izin, justru orang tuaku dan keluarga sangat mendukungku untuk menikah di usia sekarang. Alasannya yang mendasari aku untuk menunda karena aku ingin menyelesaikan amanah kuliahku terlebih dahulu agar nantinya tak menjadi beban ketika aku sudah hidup berumah tangga. Setahuku menikah itu tidak semudah yang dibayangkan, banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk memulai kehidupan baru yang lebih menekankan kepada tanggung jawab pada keluarga. Lagipula aku belum menemukan sang pangeran yang pas di hati hingga saat ini. Alasan lain mungkin berkaitan dengan pengalamanku di masa lalu yang pernah terjadi beberapa waktu lalu, begini ceritanya.
Siapa bilang akhwat tidak memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Walau bagaimanapun akhwat juga manusia, memiliki hati dan perasaan. Hanya saja lebih sensitif dan peka dibandingkan dengan perasaan ikhwan karena begitulah kodrat seorang wanita. Aku juga pernah mengalami fase-fase seperti itu, dimana mulai muncul ketertarikan dengan seorang ikhwan. Berawal dari rasa kagum semata karena sosok ikhwan itu adalah seorang aktifis da’wah yang sudah malang melintang di dunia da’wah kampus. Hingga kemudian rasa itu berlanjut menjadi simpati dan aku menjadi ingin tahu lebih jauh mengenai ikhwan itu. Sejenak perasaan itu dapat dikendalikan, hanya saja entah mengapa aku tak dapat menahan diri, sepertinya yang aku alami sudah hampir melampaui batasan yang telah ditentukan syariat. Aku kalah dengan rayuan syeitan yang mengatasnamakan cinta. Menuruti apa yang dibuatnya indah dalam pikiranku yang sebenarnya adalah dosa dan hanya keindahan sesaat. Aku sudah menyerah kali itu ketika terserang yang namanya virus merah jambu alias VMJ, walaupun awalnya hanya sepihak dari diriku saja.
Berbulan-bulan aku memendamnya, rasanya tak tahan juga apabila perasaan ini tak terbalaskan. Ku coba untuk menarik perhatiannya lewat pertemanan kami di situs jejaring sosial di internet yang sedang marak pada saat itu. Dari situlah komunikasi di antara kami terjalin walaupun tak intensif. Ketika dia sedang online pada fasilitas chating yang ada di situs tersebut itulah kesempatan yang aku gunakan untuk berkomunikasi dengannya. Dia juga merespon, seolah memberikan umpan balik kepadaku lewat perhatiannya yang sempat membuatku kebingungan mengartikannya. Semua berjalan selama hampir 6 bulan dengan komunikasi yang menurut kami aman untuk saling berinteraksi. Jika kami bertemu di kampus, aku hanya bisa menatapnya atau sekedar curi-curi pandang dari kejauhan karena takut ketahuan dengan teman-teman ikhwah yang lain, tetapi jika di chating serasa dunia menjadi milik sendiri karena saat itu aku saja yang merasakan perasaan yang berbeda seperti ada yang bergejolak dalam dada ketika berinteraksi dengannya tanpa aku tahu apa dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang sama. Lama kelamaan aku pun tak bisa memendamnya sendirian, akupun akhirnya menceritakan semua yang telah terjadi pada guru ngajiku dan sahabat-sahabatku dekatku. Aku sempat mendapat teguran dari guru mengajiku dan teman-teman sesama akhwat bahwa apa yang aku lakukan sudah masuk dalam kategori kemaksiatan yang sudah melanggar batasan. Mereka ingin aku mengakhiri hubungan itu dan segera bertaubat pada Allah. Bahkan guru ngajiku sampai menawarkanku untuk segera menikah dengan seorang ikhwan agar menghindarikan diriku dari fitnah. Aku tahu itu kesalahanku, tak seharusnya aku lakukan apalagi aku dikenal sebagai seorang akhwat yang pada dasarnya adalah seorang aktifis da’wah yang mengerti akan amal ma’ruf nahi munkar. Sekali lagi aku tegaskan bahwa akhwat itu juga manusia, rasa cinta itu fitrah. Hasrat ingin memiliki pendamping itu pasti ada pada diri setiap insan hanya saja kembali pada waktu dan caranya yang seharusnya dijalani dengan ahsan. Aku menyadari sebenarnya aku telah melakukan kesalahan namun kekhilafan itu ternyata hanya bersifat sementara. Sehari dua hari, ada niat ingin mengakhiri hubungan itu sebelum berlanjut ke hubungan yang dapat mendekatkan diri dengan zina. Namun itu tak bertahan lama, hari-hari selanjutnya mulai kembali tercelup lagi dalam bujuk rayuan syeitan, karena hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan. Komunikasi itu berlanjut lagi, muhasabah yang kemarin seakan-akan hilang dari ingatan layaknya orang yang amnesia. Hati yang tadinya kuat dan tsiqoh menjadi goyah bagai pohon yang di terpa angin kencang. Ketika namanya muncul di dalam kolom chat, tangan terasa gatal jika tidak mengetik tuts-tuts keyboard walaupun hanya sekedar bertanya kabar atau menyapanya dengan salam. Ternyata seiring berjalannya waktu terlintas dipikiranku untuk berharap padanya, apabila suatu saat sudah waktunya untuk kami mencari pasangan akupun menaruh harapan semoga dapat berjodoh dengannya. Saat itu aku layaknya orang buta yang berjalan sendirian seolah-olah memiliki sepasang mata yang dapat difungsikan. Terlalu percaya diri, namun tak memikirkan akibat dari harapan yang sebenarnya belum tentu akan terjadi karena tak menyadari bahwa sesungguhnya rezeki (jodoh) sudah dituliskan-Nya dengan rapi dalam lauh mahfudz-Nya.
Mungkin Allah tidak tega juga melihatku terlalu lama tenggelam dalam kemaksiatan yang menjauhkan hatiku dari pemilik-Nya. Lalu melalui skenario-Nya akhirnya akupun mulai tersadarkan dari kesalahanku dengan cara yang tak terduga. Pada waktu itu aku berjalan-jalan di toko buku, iseng-iseng aku ke deretan rak buku-buku islam. Disitu aku mendapatkan sebuah buku yang berjudul “Kujemput Jodohku” karya Fadlan Al-Ikhwani. Karena penasaran aku membacanya sekilas, sambil membolak-balik halaman demi halaman. Aku terpikir untuk membelinya karena sepertinya isinya cukup menarik. Lagupula aku juga sudah lama tidak menambah koleksi buku di lemariku mengenai islam. Akhirnya aku membelinya, namun sesampai di rumah akupun tak sempat membacanya, ada saja halangan yang membuatku selalu tertunda untuk membacanya hingga tamat seperti tugas kuliah, syuro-syuro, dan kegiatan lain yang menyita waktuku. Tetapi kembali skenario-Nya seolah mengambil alih peranan dalam kehidupanku. Tak lama bebarapa hari setelah aku memiliki buku itu, aku mendengar kabar bahwa ikhwan yang aku puja-puja selama ini ternyata sedang mengincar akhwat lain yang saat itu sedang dekat dengannya, tapi bukan aku. Ada rasa sedih, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu. Ternyata dia bukan ikhwan yang baik seperti yang ku pikirkan. Jadi selama ini perhatian yang ia berikan kepadaku hanya iming-imingan belaka. Ataukah mungkin aku yang menyalahartikan perhatian yang telah ia berikan sehingga membuatku terperangkap dalam cinta semu yang membutakan hatiku. Buktinya denganku saja ia tak bisa menjaga hijabnya apalagi dengan akhwat-akhwat lain. Barulah aku menyadari betapa terlambatnya aku berpikir seperti itu. Mungkin kemarin karena terlalu terbuai dalam kenikmatan nafsu sesaat, hingga segala sesuatu yang sebenarnya sudah menyalahi syariat malah dianggap sebagai suatu kebaikan. Itulah cinta yang bisa mematikan hati, yang akhirnya menjadikan diri menolak apa yang seharusnya memang menjadi suatu kebenaran. Setelah merasakan sakitnya hati, seraya akupun baru menyesali apa yang telah aku perbuat sewaktu kemarin ternyata adalah perbuatan yang sia-sia. Tidak bermudharat malah sebaliknya menyisakan luka pada hati sendiri. Ketika patah hati berimbas pada semua hal, makan tidak berselera, rasanya ingin menyendiri saja seharian di kamar dan jika tiba-tiba terbayang wajahnya, teringat akan perhatiannya, mata seolah berat tak sanggup lagi menampung air mata yang ingin tertumpah menyesakkan dada. Syuro menjadi tak bersemangat, mengerjakan tugas kuliah ogah-ogahan, menjadikan diri semakin tidak produktif. Ketika itu aku mulai kebingungan harus bagaimana, semua yang aku kerjakan terasa bosan. Aku ingin mencari sesuatu hal yang dapat menhibur hatiku yang sedang kalut saat itu. Sebenarnya tak berniat ingin membaca buku apapun namun ketika aku membuka lemari buku milikku, buku “Kujemput Jodohku” itu berdiri kokoh tepat paling depan dibarisan koleksi buku-bukuku seolah menawarkan obat untuk menawarkan sakit hati yang sedang aku alami. Dari kejadian itulah pada akhirnya aku mengkhatamkan bacaan buku itu setelah beberapa waktu yang lalu selalu tidak sempat. Setelah membacanya ternyata isinya sangat menggugah hatiku yang sedang terinfeksi penyakit hati karena sang pujaan hati lebih memilih menebarkan pesona mautnya pada akhwat lain. Buku itu seolah jawaban atas kesedihan agar aku menjadi akhwat yang semakin kuat ketika ditempa ujian yang berhubungan dengan perasaan, hati dan cinta. Alhamdulullah, aku sangat bersyukur kepada Allah karena segera menunjukkan padaku sifat asli ikhwan itu sebelum semua berjalan semakin jauh.
Kecewa, itu sudah pasti aku rasakan, namun kekecewaan itu lebih kepada penyesalan dimana cinta yang seharusnya lebih utama ku berikan pada Sang Pemilik Cinta mengapa begitu mudahnya aku letakkan pada orang yang sepenuhnya belum ada ikatan yang halal denganku. Akibat dari rasa cinta yang tak dapat aku kendalikan malah menyengsarakan diriku. Bagaimana rasanya rindu, bagaimana rasanya cemburu, bagaimana rasanya patah hati semuanya membuat sengsara diri ketika hal itu mulai mewarnai cerita dari perjalanan cinta yang ku lalui. Setelah kejadian itu baru terbesit pertanyaan-pertanyaan di hati, apakah aku tidak menyadari bahwa Sang Pemilik Hati selama ini merasa cemburu dengan kelakuanku yang tidak dapat menjaga hatiku untuk-Nya dan untuk orang yang nantinya akan Dia pilihkan untukku? Seenaknya saja aku membaginya untuk orang yang belum tentu nantinya orang akan menjadi pelabuhan terakhir dihatiku. Diriku hanya bisa bermuhasabah dan bertaubat atas apa yang telah aku perbuat karena pada dasarnya manusia selalu menyesali perbuatannya ketika ia telah mendapat ujian dari Rabb-Nya. Dan dari setiap kesalahan yang pernah diperbuat, Allah pasti menginginkan perubahan dari dalam diri menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setiap kisah selalu menampilkan penyesalan di akhir perjalanan namun pasti ada hikmah yang terselip dari apa yang sudah di skenariokan-Nya. Ketika niat di hati ingin mengakhiri perbuatan itu cukup kuat, ada saja kerikil-kerikil kecil yang menghalanginya. Melupakan bayang-bayang ikhwan itu saja bagiku tidaklah mudah. Semua butuh waktu dan proses untuk mengembalikannya seperti semula seperti ketika sebelum ada apa-apa diantara kami. Apalagi jika di suatu kesempatan harus terlibat dalam suatu kepanitiaan acara di kampus, mau tidak mau suka tidak suka selalu bertemu. Awalnya terkadang masih terkenang masa lalu tapi, Alhamdulillah berkat perjuangan dan kemauan keras dari dalam diri untuk memperbaiki kelalaian hati disertai dukungan dari sahabat-sahabat tercinta membuatku semakin ceria, mengairahkan kembali semangat untuk menjalankan da’wah dan membuang jauh-jauh perasaan yang sempat mengotori hati di masa lalu.
Belajar dari pengalaman ini, aku tidak ingin hal itu terulang kembali suatu hari nanti. Karena sungguh tidak enak yang namanya patah hati. Kini aku semakin berhati-hati dalam menempatkan hati. Semoga ini bukan sebuah trauma yang berkepanjangan yang membuatku kapok untuk jatuh cinta lagi pada seseorang yang nantinya memang halal untuk ku cintai. Karena bagaimanapun aku hanyalah manusia biasa yang juga memiliki keinginan untuk membangun rumah tangga dalam sebuah ikatan pernikahan. Seperti kata-kata Ustadzah Cici dalam suatu kajian kemuslimahan di kampus yang aku baru-baru ini aku ikuti, beliau berpesan bahwa yang terbaik akan datang pada jalan yang baik dan waktu yang terbaik ‘sesuai syariat’. Jadi apabila dia memang bukan sebaik-baiknya pilihan maka suatu saat nanti pasti akan kutemukan pujaan baru untuk kubawa ke gerbang pernikahan.(chaii)

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Adab2 Pergaulan Pra Nikah

Publikasi : Alislam.or.id
Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah populer di kehidupan kita. Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak seseorang mulai mengenal lingkungan hidupnya. Dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah “tak kenal maka tak sayang” adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa lagi, di zaman sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di masyarakat. Yaitu, suatu hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi sudah berhubungan erat dan saling menyayangi. Hubungan seperti ini oleh masyarakat dikenal dengan istilah “pacaran”.
Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasih-kasihan, yaitu dari sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari sudut pandang syar’i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu “hubungan” yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.
Apa yang terjadi dari sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim, dan hubungan suami istri.
Perkenalan
Islam tidak melarang seseorang untuk menganal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena, kekuatan Islam itu adalah di antaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling mengenal.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (Al-Hujuraat: 13).
Hubungan Sahabat
Hubungan sahabat adalah hubungan sebagai kelanjutan dari sebuah hubungan yang saling mengenal. Setelah saling mengenal, seseorang berhubungan dengan orang lain bisa meningkat menjadi teman biasa atau teman dekat (sahabat). Hubungan sahabat dimulai dari saling mengenal. Hubungan saling mengenal ini jika berlangsung lama akan menciptakan sebuah hubungan yang tidak hanya saling mengenal, tetapi sudah ada rasa solidaritas yang lebih tinggi untuk saling menghormati dan bahkan saling bekerja sama. Contoh yang mungkin dapat diambil dalam hal ini adalah seperti hubungan antara Zainudin MZ dengan Lutfiah Sungkar, Neno Warisman dengan Hari Mukti, dan lain-lain. Mereka adalah pasangan lawan-lawan jenis yang saling mengenal, juga dalam diri mereka terjalin hubungan yang saling menghormati, bahkan mungkin bisa bekerja sama. Dalam Islam, hubungan semacam ini tidaklah dilarang.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).
Jatuh Cinta
Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela.”
Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., “Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya.” Umar berkata, “Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.” (R Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, “Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang.”
Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka ….” (An-Nuur: 30–31). Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat lagi kemudian.
Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, ‘Palingkanlah pandanganmu itu’!” (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).
Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Wa’ifdz, dia berkata, “Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa’idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, ‘Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?’ Dia menjawab, ‘Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, ‘Wahai Habib?’ Aku menjawab, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.’ Allah berfirman, ‘Lewatlah Kamu di atas neraka’. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, ‘Aduh (karena sakitnya)’. Maka Dia memanggilku, ‘Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).” Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.
Hubungan Intim
Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi rambu-rambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali. Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah “pacaran”.
Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah terkenal: “apel”. Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.
Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.”
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga (mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan.” (HR Ahmad).
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a. keduanya berkata, Rasulullah saw. berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.”
Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri.
Hubungan Suami-Istri
Agama Islam itu adalah agama yang tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di dalam memandang hal semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan sek. Oleh karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah nabi-Nya.
Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah menjalin hubungan suami-istri. Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah dihalalkan untuk berbuat sesukannya terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari kepuasan libido seksualnya: hubungan badan), asalkan saja tidak melanggar larangan yang telah diundangkan oleh syariat.
Kita tidak menyangkal bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih belum melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering mendengar seorang pemudi hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa yang menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan aborsi (pengguguran kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari hasil perbuatan zina.
Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah) sudah seperti hubungan suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan ini sudah mencapai puncak kemaksiatan. Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak hal telah hilang, yaitu ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan agama bagi sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai keagamaan di masyarakat juga ikut hancur.
Di dalam kitab Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. bertutur bahwa dirinya termasuk sepuluh orang sahabat Muhajirin yang duduk bersama rasulullah saw. Lalu, beliau mengarahkan wajahnya kepada kami dan bersabda, “Wahai segenap Muhajirin, ada lima hal yang membuat aku berlindung kepada Allah dan aku berharap kalian tidak mendapatkannya. Pertama, tidaklah perbuatan zina tampak pada suatu kaum sehingga mereka melakukan terang-terangan, melainkan mereka akan tertimpa bencana wabah dan penyakit yang tidak pernah ditimpakan kepada orang-orang sebelum mereka. Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan tertimpa paceklik, masalah ekonomi, dan kedurjanaan penguasa. Ketiga, tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat, melainkan mereka akan mengalami kemarau panjang. Sekiranya tidak karena binatang, niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Keempat, tidaklah suatu kaum melakukan tipuan (ingkar janji), melainkan akan Allah utus kepada mereka musuh yang akan mengambil sebagian yang mereka miliki. kelima, tidaklah para imam (pemimpin) mereka meninggalkan (tidak mengamalkan Alquran), melainkan akan Allah jadikan permusuhan antarmereka.” (HR Ibnu Majah dan Hakim).
“Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, ‘Apa ini?’ Kedua orang itu berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina’.” (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).
Atha’ al-Khurasaniy berkata, “Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.” (Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi).
Dengan mengetahui dampak negatif yang sangat besar ini, kita akan menyadari dan meyakini bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. itu ternyata memang benar. Apabila seorang pemuda sudah siap untuk menikah, segerakanlah menikah. Hal ini sangat baik untuk menghindari terjadinya perbutan maksiat. Tetapi, jika belum mampu untuk menikah, orang tersebut hendaknya berpuasa. Karena, puasa itu di antaranya dapat menahan hawa nafsu.
“Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu benteng (penjagaan) baginya.” (HR Bukhari). (Abu Annisa)
Referensi:
1. Al-Qur’an al-Karim
2. Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi
3. Mauqiful Islam Minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mabrouk
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
5. Shahih Bukhari
6. Shahih Muslim
7. 1100 Hadits Terplih: Sinar Ajaran Muhammad, Dr. Muhammad Faiz Almath

Shalat Tarawih (Tanya Jawab Puasa)





Di desa saya ada masjid yang shalat Tarawihnya 23 rakaat dan ada yang 11 rakaat. Sebenarnya berapa rakaatkah salah Tarawih yang dituntunkan Rasulullah dan para shahabat? Adakah pembatasan jumlah rakaat Tarawih?
Jawaban :
Shalat Tarawih yang dituntunkan Rasulullah saw berjumlah sebelas rakaat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a, bahwasanya ia berkata:
كَانَتْ صَلَاتُهُ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِ رَمَضَانَ وَاحِدَةً كَانَ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ
"Rasulullah saw tidak pernah shalat (malam) baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau memulai shalatnya dengan empat rakaat—jangan bertanya tentang panjang dan bagusnya. Kemudian shalat empat rakaat lagi—jangan tanya tentang panjang dan bagusnya—kemudian shalat tiga rakaat.” ( HR Bukhari dan Muslim ).
Mengenai perbedaan 11 dan 23 rakaat, ada beberapa sebab perbedaan itu. Diantaranya:
Pertama: Adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah melakukan shalat Tarawih sebanyak 23 rakaat, sebagaimana  yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْر
"Rasulullah saw melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat dan shalat witir." (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Kedua: Adanya atsar (ucapan atau tindakan) sahabat yang menunjukkan bahwa mereka pernah shalat 20 atau 23 rakaat. Di antara atsar-atsar tersebut adalah:
1. Bahwa pada masa Umar bin Khattab, masyarakat  melakukan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat.
(HR Al-Baihaqi).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa masyarakat  pada zaman Umar bin Khattab melakukan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat. (riwayat Malik dan Al-Baihaqi).
2. Ali bin Abi Thalib ra  pernah menyuruh seseorang untuk melakukan shalat Tarawih bersama masyarakat pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat. (riwayat  Ibnu Syaibah).
3. Ubai bin Ka'ab pernah melakukan shalat Tarawih bersama pada bulan Ramadhan di Madinah dengan 20 rakaat dan shalat witir 3 rakaat. (riwayat Ibnu Abi Syaibah).
4. Abdullah bin Mas'ud pernah shalat Tarawih berjamaah 20 rakaat, kemudian shalat witir sesudahnya dengan 3 rakaat. (riwayat Ibnu Nasr).
Diantara para ulama ada yang menganggap bahwa hadits dan atsar-atsar di atas adalah shahih, sehingga mereka melakukan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan dengan 23 rakaat. Sebagian ulama lain menganggap bahwa hadits dan atsar-atsar di atas adalah lemah, sehingga mereka tetap memegang hadits shahih. Yaitu hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan 11 rakaat, sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
Dari sini, para ulama berbeda pendapat tentang batasan rakaat shalat Tarawih. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dalam rakaat  shalat Tarawih pada bulan Ramadhan tidak ada batasannya; siapa saja boleh melakukan shalat Tarawih atau shalat malam dengan beberapa rakaat pun. Boleh kurang dari 11 rakaat , dan boleh lebih dari itu. Mereka beralasan bahwa hadits dan atsar-atsar di atas yang menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya pernah melakukan shalat Tarawih sebanyak 23 rakaat adalah shahih.
Sebagian ulama lain beralasan bahwa Rasulullah saw tidak pernah melarang seseorang melakukan shalat Tarawih kurang dari 11 rakaat atau melarang melakukan shalat Tarawih lebih dari 11 rakaat. Kebijaksanaannya diserahkan kepada pribadi masing-masing dan menurut kemampuan dan kondisi masing-masing.
Namun, sebagian ulama lain yang berpegang dengan  hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah shalat Tarawih lebih dari 11 rakaat mengatakan bahwa semua shalat yang telah dikerjakan oleh Rasulullah saw secara kontinu harus ditiru secara persis sebagaimana Rasulullah saw mengerjakannya. Tidak boleh ditambah-tambah.
Melihat hadits-hadits dan atsar para sahabat dalam shalat Tarawih tersebut, kita dapati bahwa riwayat yang menyatakan bahwa shalat Tarawih dengan 11 rakaat adalah riwayat yang paling kuat karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Kebolehan jumlah 11 rakaat dalam shalat Tarawih telah disepakati ulama, sementara jumlah rakaat Tarawih lainnya masih dalam perselisihan ulama.
Bagaimana sikap kita menghadapi perselisihan seperti itu?
Selama para ulama berbeda pendapat dalam satu masalah dan masing-masing dari mereka mempunyai sandaran yang bisa dipertanggung jawabkan, kita harus saling menghormati. Yang berkeyakinan bahwa shalat Tarawih boleh dilakukan dengan 23 rakaat atau lebih, silakan melaksanakannya dengan khusyu, tenang, dan tidak tergesa-gesa. Sebaliknya, bagi yang berkeyakinan bahwa shalat Tarawih batas maksimalnya 11 rakaat, silakan untuk mengerjakan menurut yang ia yakini tanpa harus menghujat pihak lain yang berbeda pendapat. Wallahu A'lam.
Saya sudah shalat Tarawih berjamaah di masjid sampai selesai. Malam harinya saya ingin shalat lagi. Apakah saya boleh shalat lagi? Kalau boleh, bagaimana caranya?
Jawaban :
Dibolehkan bagi yang sudah shalat Tarawih berjamaah di masjid sampai selesai, untuk melaksanakannya lagi di rumah karena menurut mayoritas ulama, shalat Tarawih pada bulan Ramadhan tidak ada batas jumlah rakaatnya.
Dengan demikian, orang yang shalat Tarawih secara berjamaah di masjid dan merasa belum puas, boleh melakukan shalat tahajud lagi pada malam harinya.
Bisa jadi seseorang tidak merasa puas dengan shalat Tarawih yang dikerjakan berjamaah di masjid, mengingat shalat Tarawih berjamah di Indonesia biasanya dilaksanakan secara cepat.
Bagaimana cara pelaksanaannya? Bisa dengan memilih salah satu dari tiga cara :
Cara Pertama: Tetap mengikuti shalat Tarawih dengan imam di masjid sampai selesai berikut shalat witirnya, kemudian melanjutkan shalat tahajud di malam harinya tanpa ditutup dengan shalat witir. Rasulullah saw bersabda:
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
"Tidak ada shalat dua witir dua kali dalam satu malam." (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasa'i).
Tetapi, bolehkah melakukan shalat setelah shalat witir? Boleh, dalilnya adalah hadits Aisyah r.a:
أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّى  رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ
"Rasulullah saw pernah mengerjakan shalat dua rakaat setelah witir dalam keadaan beliau duduk." (HR. Muslim).
Cara Kedua: Tetap mengikuti shalat Tarawih dengan imam di masjid sampai selesai berikut shalat witirnya. Namun setelah imam menyelesaikan shalatnya dengan salam, dia tidak ikut salam, tetapi berdiri lagi untuk menggenapkan rakaat agar tidak terhitung shalat witir. Kemudian dia melanjutkan shalat tahajud di malam harinya dan ditutup  dengan shalat witir. Dalam hal ini dia telah melaksanakan sabda Rasulullah saw:
اِجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ  وِتْرًا
"Jadikan akhir shalat malammu dengan melakukan shalat witir." (HR. Bukhari dan Muslim).
Cara Ketiga: Meninggalkan shalat jamaah ketika imam hendak melakukan shalat witir, kemudian melanjutkan shalat tahajud di malam harinya dan ditutup  dengan shalat witir. Namun orang yang melaksanakan cara yang ketiga ini telah kehilangan keutamaan shalat berjamaah bersama imam sampai selesai. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لًهُ قِيَامُ لَيْلَة
"Barangsiapa yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai selesai maka akan dihitung shalat malam secara penuh." (Hadits Shahih, riwayat Abu Daud, Tirmidzi , Nasai, Ibnu Majah).
Ustadz, manakah yang lebih utama antara shalat Tarawih berjamaah dan shalat sendiri?
Jawaban :
Yang lebih utama adalah shalat Tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai. Dalilnya adalah sabda  Rasulullah saw :
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لًهُ قِيَامُ لَيْلَة
"Barang siapa yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai selesai, maka akan dihitung shalat malam secara penuh." (Hadits Shahih, riwayat Abu Daud, Tirmidzi , Nasai, Ibnu Majah).
Sebagian orang ada yang tidak mau shalat Tarawih langsung setelah shalat Isya’ karena menganggap bahwa shalat Tarawih lebih utama dilakukan pada akhir malam. Benarkah demikian?
Jawaban :
Sebenarnya dalam shalat Tarawih terdapat dua keutamaan:
Pertama: Keutamaan shalat Tarawih secara berjamaah bersama imam, sebagaimana tersebut dalam hadits yang disebut di atas.
Kedua : Keutamaan shalat tahajud pada malam hari, tepatnya di akhir malam.
Kalau bisa menggabung dua keutamaan tersebut tentunya lebih baik. Yaitu melaksanakan shalat Tarawih (tahajud) berjamaah bersama imam di akhir malam hingga selesai.
Kalau tidak bisa mengerjakan yang demikian, shalat Tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai lebih utama dari shalat sendiri-sendiri di akhir malam. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لًهُ قِيَامُ لَيْلَة
"Barang siapa yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai selesai, maka akan dihitung shalat malam secara penuh." (Hadits shahih, riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi , An-Nasa’i, Ibnu Majah )
Selain itu, shalat Tarawih secara berjamaah bakda Isya merupakan syiar Islam yang harus digalakkan. Karena kalau shalat Tarawih (tahajud) harus dikerjakan tengah malam atau di akhir malam, tentunya banyak masyarakat yang akan meninggalkan shalat Tarawih. Dengan demikian, menegakkan shalat Tarawih setelah Isya secara berjamaah di masjid-masjid akan menghasilkan maslahat yang lebih besar dalam masyarakat Islam. Wallahu A'lam