Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan
sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak
kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi') tanah. (Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam, hal. 39).
Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 128). Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Para fuqaha itu misalnya Imam Abu Yusuf (w. 193 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, Imam Yahya bin Adam (w. 203 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, dan Imam Abu Ubaid (w. 224 H) dengan kitabnya Al-Amwal. Sebagian ulama seperti Imam Al-Mawardi (w. 450 H) membahas pertanahan dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah yang membahas hukum tata negara menurut Islam. Demikian pula Imam Abu Ya'la (w. 457 H) dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah.
Pada masa modern kini pun tak sedikit ulama yang
membahas hukum pertanahan dalam perpektif Islam. Misalnya Abdul Qadim
Zalum (w. 2003) dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Athif Abu Zaid Sulaiman Ali dalam kitabnya Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam (1416 H), dan Amin Syauman dalam kitabnya Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa (t.t.).
Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas hukum
pertanahan dalam Syariah Islam, khususnya yang terkait dengan
kepemilikan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
2. Filosofi Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di
langit dan bumi --termasuk tanah-- hakikatnya adalah milik Allah SWT
semata. Firman Allah SWT (artinya),"Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)." (QS An-Nuur [24] : 42). Allah SWT juga berfirman (artinya),"Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Al-Hadid [57] : 2).
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-'Ammah fil Islam, hal. 19).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),"Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya." (QS Al-Hadid [57] : 7). Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, "Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT." (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan
gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua)
poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.
Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi
bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur
persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja (Syariah Islam). (Abduh
& Yahya, Al-Milkiyah fi Al-Islam, hal. 138). Mengatur
pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah
sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT (artinya),"Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." (QS Al-Kahfi [18] : 26).
3. Kepemilikan Tanah dan Implikasinya
Kepemilikan (milkiyah, ownership) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. (idznu asy-Syari' bi al-intifa' bil-'ain). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam,
hal. 73). Kepemilikan tidaklah lahir dari realitas fisik suatu benda,
melainkan dari ketentuan hukum Allah pada benda itu. (Abdul Ghani, Al-'Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 8).
Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan
tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait
dengan tanah, yaitu : (1) zat tanah (raqabah al-ardh), dan (2) manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.
Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu : (1) tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah Usyriah adalah tanah yang
penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah
Munawwarah dan Indonesia. Termasuk tanah usyriah adalah seluruh Jazirah
Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah, juga tanah
mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya`ul mawat). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya (raqabah), maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.
Tanah usyriyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat
pertanian) sebesar sepersepuluh (10 %) jika diairi dengan air hujan
(tadah hujan). Jika diairi dengan irigasi buatan zakatnya 5 %. Jika
tanah pertanian ini tidak ditanami, tak terkena kewajiban zakatnya.
Sabda Nabi SAW,"Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya
sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari
sepersepuluh." (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
Jika tanah usyriah ini tidak berbentuk tanah
pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukiman penduduk, tidak ada
zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat
perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 240).
Jika tanah usyriah ini dibeli oleh seorang non muslim
(kafir), tanah ini tidak terkena kewajiban usyr (zakat), sebab non
muslim tidak dibebani kewajiban zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal, hal. 48).
Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).
Tanah kharajiyah ini zatnya (raqabah) adalah
milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak
mewakili kaum muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah
milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti
tanah kharajiyah. Namun manfaatnya adalah milik individu. Meski tanah
tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan,
namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh
diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh
diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 303).
Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu
pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang
besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau
tidak, kharaj tetap dipungut.
Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb),
kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak
gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non
muslim kepada muslim. Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap memungut
kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang meski
pemiliknya sudah masuk Islam. (Zallum, ibid., hal. 47; Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 245).
Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan perdamaian (al-shulhu),
maka ada dua kemungkinan : (1) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu
menjadi milik kaum muslimin, kharajnya bersifat tetap (abadi) meski
pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (2) jika
perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik mereka (non muslim),
kedudukan kharaj sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya
masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (Zallum, ibid., hal. 47).
Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah
pertanian, misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia
tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban
zakat (usyr). Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena
kewajiban zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 247).
Namun kadang kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar
bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang
dikuasai melalui perang (akan terkena kharaj abadi), lalu tanah itu
dijual kepada muslim (akan terkena zakat/usyr). Dalam kondisi ini,
kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika
sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib dikeluarkan. (Zallum, ibid., hal. 49).
4. Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah
Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki
dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui : (1) jual beli,
(2) waris, (3) hibah, (4) ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).
Mengenai jual-beli, waris, dan hibah sudah jelas. Adapun ihya`ul mawat artinya adalah menghidupkan tanah mati (al-mawat).
Pengertian tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak
dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya
memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya,
menanaminya dengan pohon, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya.
Sabda Nabi SAW,"Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari) (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 79).
Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ahmad).
Sedang iqtha`, artinya pemberian tanah
milik negara kepada rakyat. Nabi SAW pada saat tiba di kota Madinah,
pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin
Khaththab. Nabi SAW juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair
bin Awwam. (Al-Nabhani, ibid., hal. 119).
5. Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian
Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah
pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun
berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada
orang lain yang mampu mengolahnya. (Al-Nabhani, ibid., hal. 136).
Umar bin Khaththab pernah berkata,"Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir)
tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan." Umar
pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik
Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat
menyetujuinya sehingga menjadi Ijma' Sahabat (kesepakatan para sahabat
Nabi SAW) dalam masalah ini. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 241).
Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir
(pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang
dimiliki dengan cara-cara lain tas dasar Qiyas. Misalnya, yang dimiliki
melalui jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi
alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 139).
6. Pemanfaatan Tanah (at-tasharruf fi al-ardh)
Syariah Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian
untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya
dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan Khalifah
Umar bin Khathab memberikan bantuan sarana pertanian kepada para petani
Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka.
Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya,
dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW
bersabda,"Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya." (HR Bukhari).
Jika pemilik tanah pertanian menelantarkan tanahnya
selama tiga tahun, maka hak kepemilikannya akan hilang, sebagaimana
telah diterangkan sebelumnya.
7. Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah
kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk
hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang).
(Al-Nabhani, ibid. hal. 141).
Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa mempunyai
tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada
saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah.
Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk
Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk
Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah
tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah
yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada,
yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah).
Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya
sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).
Larangan ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian
untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal
untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan
(gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja
sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.
8. Tanah Yang Memiliki Tambang
Tanah yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak,
emas, perak, tembaga, dan sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan : (1)
tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya
sedikit. (2) tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan
bertambang kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini
menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika
tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah
bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para
sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik
kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan
tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik
umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh
individu (swasta). (Al-Nabhani, ibid. hal. 220).
9. Negara Berhak Menetapkan Hima
Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara
khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan
oleh individu. Misalnya menetapkan hima pada suatu tambang tertentu,
katakanlah tambang emas dan perak di Papua, khusus untuk keperluan
membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya pernah
menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu. Rasulullah SAW pernah
menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota Madinah) khusus untuk
menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk lainnya. Abu
Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus untuk
menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya. (Zallum, ibid., hal. 85).
10. Penutup
Demikianlah sekilas beberapa hukum pertanahan dalam
Islam. Sudah selayaknya hukum-hukum ini terus menjadi bahan kajian umat
Islam, untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan kita guna menggantikan
hukum warisan penjajah yang kafir. Wallahu a'lam. [ ]
= = = =
*Disampaikan dalam Pengajian dalam rangka Peringatan Hari Agraria Nasional ke-49, dengan tema Tinjauan Hukum Pertanahan Sesuai Al-Qur`an dan Al-Hadis,
Selasa 27 Oktober 2009, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional
Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, di Aula Kantor Pertanahan Kabupaten
Bantul, Jl Trirenggo, Bantul.
**KH. Ir. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, MSI. Alumnus
Fakultas MIPA IPB (S-1) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (S-2).
Pernah nyantri di PP Nurul Imdad dan PP Al-Azhar, Bogor. Sekarang
konsultan hukum Islam di tabloid Media Umat Jakarta (www.mediaumat.com),
dosen tetap STEI Hamfara Yogya, dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara
Yogya.
DAFTAR BACAAN
Abdul Ghani, Muhammad, Al-'Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.
Al-Baghday, Abdurrahman, Serial Hukum Islam : Penyewaan Tanah Lahan, Kekayaan Gelap, Ukuran Panjang, Luas, Takaran dan Timbangan, (Bandung : Alma'arif), 1987
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, (Makkah : Rabithah al-'Alam al-Islami), 1416 H
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, (t.tp : Hizbut Tahrir), 1963
Al-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), 2003
----------, Al-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2004
Ghadiy, Yasin, Al-Amwal wa Al-Amlak al-'Ammah fil Islam, (Mu`tah : Mu`assasah Raam), 1994
Abduh, Isa & Yahya, Ahmad Ismail, Al-Milkiyah fi Al-Islam, (Kairo : Darul Ma'arif), t.t.
Johansen, Baber, The Islamic Law on Land Tax and Rent, (London-New York-Sydney : Croom Helm), 1988
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukum Islam, (Yogyakarta : Gama Media), 2008
Salasal, Siti Mariam Malinumbay S., The Concept of Land Ownership : Islamic Perspectif, dalam Buletin Geoinformasi,
Jilid 2, No 2, hlm. 285-304, Penerbitan Akademik Fakulti Kejuruteraan
& Sains Geoinformasi, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai,
Desember 2004
Sait, M. Siraj, The Relevance of Islamic Law Land for Policy and Project Design, Makalah dalam Conference on Challenge for Land Policy and Administration, The World Bank, Washington DC, 14-15 Pebruari 2008.
Suhartono, Titik Singgung Hak Tanggungan Atas Tanah dengan Hukum Perwakafan, (t.tp : t.p.), t.t.
Syauman, Amin, Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa, (t.tp. : t.p) : t.t.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2004