Jumat, 31 Agustus 2012

CINTA TERLARANG, SEBAB, AKIBAT DAN TERAPINYA

DIAGNOSA DOKTER:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
جُرْحٌ مَسْمُومٌ
“Luka yang beracun.” [Majmu’ Al-Fatawa, 5/32]
Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
هَذَا مَرَضٌ مِنْ أَمْرَاضِ الْقَلْبِ
“Ini termasuk salah satu penyakit hati.” [Zadul Ma’ad, 4/274]
NAMA PENYAKIT:

  • Mabuk Kepayang (‘isyq)
  • Kasmaran
  • Kangen
  • Virus merah jambu
  • Tergila-gila
  • Dll (Silakan tambah sendiri)
EFEK NEGATIF:
  • Mengarah kepada syirik dalam mahabbah (cinta), termasuk syirik apabila seseorang mencintai makhluk dengan kadar yang sama dengan cintanya kepada Allah ta’ala, apalagi jika cintanya kepada makhluk melebihi cintanya kepada Allah ta’ala, dan lebih parah lagi jika dia hanya mencintai makhluk dan tidak mencintai Allah ta’ala sama sekali
  • Selalu ingat si dia (sedikit mengingat Allah ta’ala bahkan tidak sama sekali)
  • Batin tersiksa apabila tidak bertemu atau tidak berhubungan
  • Mengantarkan kepada zina, baik zina mata, hati, lisan, tangan, kaki dan kemaluan
  • Bila cinta ditolak dukun bertindak (termasuk syirik)
  • Boros harta untuk menyenangkan si dia atau sekedar mau pamer harta
  • Menyia-nyiakan waktu
  • Menghalangi masuknya ilmu dalam diri
  • Merusak rumah tangga, baik rumah tangga orang maupun rumah tangganya sendiri
  • Dll (Silakan tambah sendiri)
SEBAB MUNCULNYA PENYAKIT:
  • Terkena PANAH SETAN, yaitu melihat lawan jenis yang tidak halal baginya dan meneruskan pandangan pertama yang tidak disengaja
  • Ikhtilat, campur baur dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita, baik di tempat kerja, sekolah, majelis ta’lim, organisasi maupun di rumah
  • Melihat sesama jenis yang dapat menggoda syahwat, seperti memandang pemuda tampan yang belum tumbuh jenggotnya (membawa kepada penyakit homoseks)
  • Berhubungan dengan lawan jenis tanpa ada suatu kebutuhan yang mendesak dan atau tanpa adab-adab islami, baik secara langsung maupun melalui media internet seperti FB, YM, Email dan lain-lain
TERAPINYA:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya,
مَسْأَلَةٌ: فِيمَنْ أَصَابَهُ سِهَامُ إبْلِيسَ الْمَسْمُومَةُ؟
Pertanyaan: Bagaimana mengatasi apabila seorang terkena panah iblis yang beracun itu?
 الْجَوَابُ: مَنْ أَصَابَهُ جُرْحٌ مَسْمُومٌ فَعَلَيْهِ مِمَّا يُخْرِجُ السُّمَّ وَيُبْرِئُ الْجُرْحَ بِالتِّرْيَاقِ وَالْمَرْهَمِ وَذَلِكَ بِأُمُورٍ مِنْهَا
Jawaban: Barangsiapa yang menderita luka beracun maka WAJIB atasnya mengeluarkan racun dan mengobati luka tersebut dengan pencegahan dan obatnya, yaitu dengan beberapa perkara berikut ini:
PERTAMA:
أَنْ يَتَزَوَّجَ أَوْ يَتَسَرَّى، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: {إذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إلَى مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّمَا مَعَهَا مِثْلُ مَا مَعَهَا}. وَهَذَا مِمَّا يُنْقِصُ الشَّهْوَةَ وَيُضْعِفُ الْعِشْقَ
“Hendaklah dia MENIKAH atau memiliki hamba sahaya (yang didapatkan dari medan jihad, pen), karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang melihat kecantikan seorang wanita hendaklah dia segera mendatangi istrinya, karena apa yang ada pada wanita itu sama saja dengan yang ada pada istrinya.”
Maka obat ini akan mengurangi syahwat dan melemahkan penyakit mabuk cinta.”
KEDUA:
الثَّانِي: أَنْ يُدَاوِمَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَقْتَ السَّحَرِ وَتَكُونُ صَلَاتُهُ بِحُضُورِ قَلْبٍ وَخُشُوعٍ وَلْيُكْثِرْ مِنْ الدُّعَاءِ بِقَوْلِهِ: يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِك. يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قَلْبِي إلَى طَاعَتِك وَطَاعَةِ رَسُولِك، فَإِنَّهُ مَتَى أَدْمَنَ الدُّعَاءَ وَالتَّضَرُّعَ لِلَّهِ صُرِفَ قَلْبُهُ عَنْ ذَلِكَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Hendaklah dia menjaga shalat lima waktu dan senantiasa berdoa, merendahkan diri kepada Allah ta’ala (bersungguh-sungguh berdoa) di waktu sahur. Dan hendaklah shalatnya dengan kehadiran hati dan khusyu’ serta memperbanyak doa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِك. يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قَلْبِي إلَى طَاعَتِك وَطَاعَةِ رَسُولِك
“Wahai Zat yang membolak-balikan hati tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu, wahai Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hatiku kepada ketaatan kepada-Mu dan Rasul-Mu.”
Karena sesungguhnya, jika seseorang selalu berdoa dan merendah kepada Allah ta’ala maka hatinya akan dipalingkan dari penyakit tersebut, sebagaimana firman Allah ta’ala,
 كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya NABI YUSUF termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” [Yusuf: 24]
KETIGA:
الثَّالِثُ: أَنْ يَبْعُدَ عَنْ سَكَنِ هَذَا الشَّخْصِ، وَالِاجْتِمَاعِ بِمَنْ يَجْتَمِعُ بِهِ، بِحَيْثُ لَا يَسْمَعُ لَهُ خَبَرًا وَلَا يَقَعُ لَهُ عَلَى عَيْنٍ وَلَا أَثَرٍ، فَإِنَّ الْبُعْدَ جَفَى. وَمَتَى قَلَّ الذِّكْرُ ضَعُفَ الْأَثَرُ فِي الْقَلْبِ، فَيَفْعَلُ هَذِهِ الْأُمُورَ وَلْيُطَالِعْ بِمَا تَجَدَّدَ لَهُ مِنْ الْأَحْوَالِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ أَعْلَمُ
“Menjauhi tempat tinggal lawan jenis tersebut, dan jangan bergaul dengan orang-orang yang mengenalnya, sehingga dia tidak lagi mendengarkan tentang kebaikannya (ketampanannya, kecantikannya, kekayaannya, dll), serta tidak lagi melihatnya dan merasakannya. Karena dengan berjauhan akan melupakannya, dan apabila sedikit penyebutan tentangnya maka melemah pula pengaruhnya di dalam jiwa, maka hendaklah dia lakukan perkara-perkara ini dan berusaha melihat hal-hal yang baru baginya (yang dapat melupakan si dia). Wallahu subhaanahu A’lam.
[Majmu’ Al-Fatawa, 5/32]
TERAPI TAMBAHAN DARI DOKTER LAIN, AL-‘ALLAMAH IBNUL QOYYYIM RAHIMAHULLAH:
Beliau rahimahullah berkata,
وَعِشْقُ الصّوَرِ إنّمَا تُبْتَلَى بِهِ الْقُلُوبُ الْفَارِغَةُ مِنْ مَحَبّةِ اللّهِ تَعَالَى الْمُعْرِضَةُ عَنْهُ الْمُتَعَوّضَةُ بِغَيْرِهِ عَنْهُ فَإِذَا امْتَلَأَ الْقَلْبُ مِنْ مَحَبّةِ اللّهِ وَالشّوْقِ إلَى لِقَائِهِ دَفَعَ ذَلِكَ عَنْهُ مَرَضَ عِشْقِ الصّوَرِ وَلِهَذَا قَالَ تَعَالَى فِي حَقّ يُوسُفَ { كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ } [ يُوسُفَ 24 ] فَدَلّ عَلَى أَنّ الْإِخْلَاصَ سَبَبٌ لِدَفْعِ الْعِشْقِ وَمَا يَتَرَتّبُ عَلَيْهِ مِنْ السّوءِ وَالْفَحْشَاءِ الّتِي هِيَ ثَمَرَتُهُ وَنَتِيجَتُهُ
“Mabuk cinta terhadap sosok-sosok hanyalah tertimpa kepada orang yang hatinya kosong dari kecintaan kepada Allah, hati yang berpaling darinya dan mengganti-Nya dengan yang lain. Maka apabila hati telah dipenuhi dengan cinta kepada Allah ta’ala dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya maka hal itu akan menghilangkan penyakit mabuk cinta terhadap sosok-sosok ini. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman,
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya NABI YUSUF termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” [Yusuf: 24]
Maka hal ini menunjukkan bahwa memurnikan cinta kepada Allah ta’ala merupakan sebab yang dapat menghilangkan penyakit mabuk cinta dan menghilangkan kejelekan dan kekejian (perzinahan) yang merupakan buah dan hasil dari mabuk cinta.”
Maka inilah ringkasan dan sedikit penjelasan terapinya:
- MENIKAH, jika memungkinkan untuk menikahi lawan jenis yang telah membuatnya tergila-gila.
- Jika tidak memungkinkan, misalkan si wanita telah memiliki suami, atau seorang gelandangan mau menikahi anak raja, maka hendaklah BERPUTUS ASA dari menikahi wanita tersebut, sebab orang yang sudah berputus asa dari sesuatu dia tidak akan lagi berusaha mengejarnya dan memikirkannya.
- Jika ternyata penyakit ini belum juga hilang dengan “BERPUTUS ASA” maka sungguh tabiatnya telah menyimpang jauh, maka akalnya harus diobati sebab hal ini termasuk jenis penyakit GILA, yaitu keterkaitan hati dengan sesuatu yang tidak mungkin dia raih, bagaikan seorang yang menggapai matahari sementara dia sadar bahwa dia tidak mampu melakukannya.
- Jika pengobatan terhadap penyakit gila ini belum juga bermanfaat maka hendaklah dia melihat dampak-dampak negatif penyakit ini dan kebaikan-kebaikan yang hilang karenanya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
- Jika penyakitnya belum sembuh juga hendaklah dia mengingat kejelekan-kejelakan lawan jenis tersebut, mungkin dengan menanyakan kejelekan-kejelekannya kepada orang-orang yang mengenalnya.
- Jika ternyata seluruh terapi di atas juga belum bisa menghilangkan penyakit ini maka tidak ada lagi obatnya selain memohon pertolongan kepada Allah jalla wa ‘ala.
- Perhatian: Jika dia telah me‏ndapatkan taufiq untuk mengobati penyakit ini janganlah dia menyebarkan aib-aib lawan jenisnya tersebut.
[Diringkas dari Zadul Ma’ad, 2/265-274]

2 Cara Jitu untuk Mendapatkan Istri Shalihah


Masih banyak pemuda-pemudi muslim dan muslimah yang belum tahu bagaimana cara mendapatkan pasangan yang shalih dan shalihah, sehingga tidak jarang mereka menempuh cara yang diharamkan dalam Islam dan mengantarkan mereka kepada perzinahan, baik zina mata, zina tangan, zina hati sampai zina kemaluan, yaitu dengan berpacaran.
Alasan mereka, sebelum menikah, setiap pasangan haruslah saling mengenal satu dengan yang lainnya. Padahal kenyataannya, untuk saling mengenal tidak mesti dengan berpacaran. Bahkan realitanya, mereka yang berpacaran akan berusaha menampakkan yang terbaik di depan pacarnya dan berusaha menyembunyikan kejelekan mereka agar dapat menikahi pasangannya atau membujuk pasangannya agar mau melakukan hal-hal yang hanya layak dilakukan oleh suami istri -wal’iyadzubillah-, sehingga setelah menikah tersingkaplah berbagai macam borok pasangannya. Akhirnya, masa pacarannya bisa lebih lama daripada masa pernikahannya.
Bagaimanakah tuntunan Islam untuk memilih pasangan yang shalih dan shalihah, berikut tanya jawab yang diajukan kepada Syaikhu Syaikhina Samaahatul Mufti Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
Pertanyaan: Bagaimana cara yang baik dalam memilih istri shalihah?
Jawaban:
[Pertama] Cara mengetahui keshalihan seorang wanita hendaklah bertanya kepada orang yang berilmu dan amanah (yang mengenalnya).
[Kedua] Juga dengan bertanya kepada keluarga wanita tersebut, sampai menjadi jelas bagi pelamar bahwa dia termasuk wanita shalihah.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
« تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها ، فاظفر بذات الدين تربت يداك »
“Wanita (biasanya) dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka utamakanlah yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”  [HR. Al-Bukhari (5090) dan Muslim (1466)]
Dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
« الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة »
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” [HR. Al-Bukhari (1467)]
Dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
« المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل »
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka lihatlah siapa yang kalian jadikan teman dekat.” [HR. Ahmad (2/334) dan Al-Hakim (4/188, no. 7319)]
Dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
« مثل الجليس الصالح وجليس السوء كحامل المسك ونافخ الكير ، فإن حامل المسك إما أن يحذيك وإما أن تبتاع منه ، وإما أن تجد منه ريحا طيبة ، ونافخ الكير إما أن يحرق ثيابك وإما أن تجد منه ريحا خبيثا »
“Perumpamaan teman duduk yang baik dan yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pandai besi, sesungguhnya penjual minyak wangi bisa jadi dia memberikannya kepadamu, ataukah engkau membelinya, ataukah engkau mendapati darinya harum wanginya. Adapun pandai besi, bisa jadi membakar pakaianmu ataukah engkau dapati darinya bau yang jelek.” [HR. Al-Bukhari (5534) dan Muslim (2628)]
Dan hanya Allah Ta’ala yang memberikan taufiq.
[Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah (20/404)]
Artikel terkait:
CINTA TERLARANG, SEBAB, AKIBAT DAN TERAPINYA

Sabtu, 25 Agustus 2012

Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah Dari artikel Ini Dalilnya (7): Beda Bid’ah dan Mashalih Mursalah — Muslim.Or.Id by null


Saudaraku seiman, yang akan kita bahas kali ini sangatlah penting, yaitu persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashalih mursalah. Dalam buku Mana Dalilnya 1, si penulis tak bisa membedakan antara bid’ah dan mashalih mursalah, akibatnya  ia menggolongkan hal-hal yang merupakan mashalih mursalah ke dalam bid’ah[1]). Seperti ketika menjelaskan  bid’ah wajib, ia mengatakan:
Bid’ah wajib ialah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Di antaranya adalah:
  1. Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an menjadi satu mushaf demi menjaga keaslian Al Qur’an, karena telah banyak penghapal Al Qur’an yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
  2. Memberi titik dan harakat (garis tanda fathah, kasrah dan dzamma pada huruf-huruf Al Qur’an). Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, Al Qur’an ditulis tanpa titik dan harakat. Pemberian harakat dan titik baru dilakukan pada masa Tabi’in. Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan baca yang dapat menimbulkan salah pengertian dan penafsiran.
  3. Membukukan Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli Hadits lainnya.
  4. Menulis buku-buku tafsir Al Qur’an demi menghindari salah penafsiran dan untuk memudahkan masyarakat memahami Al Qur’an.
  5. Membuat buku-buku fiqih sehingga hukum agama dapat diterapkan dengan baik dan mudah. [2])

Sebelum menjelaskan kerancuan klasifikasi di atas, ada baiknya kalau kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan mashalih mursalah itu.

Definisi Mashalih mursalah
Istilah di atas merupakan salah satu istilah ushul fiqih yang masyhur, yang tersusun dari dua kata; mashalih (مَصَالِحٌ) dan mursalah (مُرْسَلَةٌ). Kata yang pertama adalah bentuk jamak dari ‘maslahah’ (مَصْلَحَةٌ) yang artinya manfaat/kemaslahatan. Sedangkan mursalah artinya yang diabaikan. Jadi mashalih mursalah secara bahasa artinya ialah kemaslahatan-kemaslahatan yang diabaikan.
Agar lebih jelas, kita harus tahu bahwa setiap kemaslahatan pasti tak lepas dari salah satu keadaan berikut;
  1. Maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang diperhitungkan)
  2. Maslahah mulghaah (kemaslahatan yang dibatalkan)
  3. Maslahah mursalah (kemaslahatan yang diabaikan)
Maslahah mu’tabarah pengertiannya ialah setiap manfaat yang diperhitungkan oleh syari’at berdasarkan dalil-dalil syar’i. Aplikasi dari maslahah mu’tabarah ini biasanya kita temui dalam masalah qiyas. Misalnya ketika syari’at mengharamkan khamer, sesungguhnya ada suatu alasan yang selalu diperhitungkan dalam hal ini, yaitu sifat memabukkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ (رواه مسلم رقم 2003).
 “Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer itu haram” (H.R. Muslim no 2003).            Karenanya, segala sesuatu yang memabukkan -entah itu makanan, minuman, atau apapun- dihukumi sama dengan khamer. Qiyas semacam ini merupakan bentuk pengamalan akan maslahah mu’tabarah [3]). Karena dengan begitu kita dapat menjaga akal manusia dari segala sesuatu yang merusaknya, yang dalam hal ini adalah khamer. Sedangkan menjaga akal merupakan maslahah yang diperhitungkan oleh syari’at [4]).
Kesimpulannya, pengharaman setiap yang memabukkan seperti miras dan narkoba merupakan maslahah mu’tabarah.
Sedangkan maslahah mulghaah, ialah kemaslahatan yang dianggap batal oleh syari’at. Contohnya ialah maslahat yang terkandung dalam khamer dan perjudian. Allah Ta’ala berfirman,
(البقرة: من الآية 219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (Al Baqarah: 219).
Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa khamer dan judi itu mengandung beberapa manfaat bagi manusia, namun demikian hukumnya haram sehingga manfaatnya dianggap batal oleh syari’at Islam. Inilah yang dinamakan maslahah mulghaah. Contoh lainnya ialah maslahat mencari kekayaan dengan cara menipu dan manipulasi. Kekayaan di sini merupakan maslahat, akan tetapi caranya bertentangan dengan syari’at, sehingga maslahat yang ditimbulkannya dianggap batal. Demikian pula wanita yang mencari uang lewat melacur umpamanya.
Adapun maslahah mursalah, maka tak ada dalil dalam syari’at yang secara tegas memperhitungkan maupun membatalkannya. Singkatnya, maslahah mursalah adalah maslahat-maslahat yang terabaikan –alias tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya,– namun ia sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at [5]). Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kita tahu bahwa sesungguhnya syari’at ditegakkan di atas azas mendatangkan manfaat dan menolak madharat. Karenanya, segala sarana yang bisa mendatangkan manfaat bagi seorang muslim atau menolak madharat darinya, boleh dipakai selama cara tersebut tidak bertentangan dengan syari’at[6]). Inilah sebenarnya hakekat mashalih mursalah, dan inilah yang sering dianggap bid’ah hasanah oleh sebagian orang yang tidak faham.
Untuk lebih jelasnya, kami akan menyebutkan beberapa persamaan antara bid’ah dan mashalih mursalah:
No
Mashalih Mursalah
Bid’ah
1
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Tidak dijumpai di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
2
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya

Sedangkan perbedaan antara keduanya ialah:
No
Maslahah Mursalah
Bid’ah
1
Bisa bertambah dan berkurang atau bahkan ditinggalkan sesuai dengan kebutuhan, karena ia sekedar sarana & bukan tujuan hakiki, alias bukan ibadah yang berdiri sendiri.
Bersifat paten dan dipertahankan hingga tidak bertambah atau berkurang, karena ia merupakan tujuan hakiki alias ibadah yang berdiri sendiri dan bukan sarana.
2
Sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada tapi ada penghalangnya
Sebab-sebabnya sudah ada di zaman Nabi dan tidak ada penghalangnya.
3
Tidak mengandung unsur memberatkan, karena tujuan dasarnya ialah mencari kemaslahatan.
Mengandung unsur memberatkan, karena tujuannya dasarnya untuk berlebihan dalam beribadah.
4
Selaras dengan misi syari’at (maqashidus syari’ah)
Tidak selaras dengan misi syari’at, bahkan cenderung merusaknya [7]).

Kalau kita merenungi perbedaan-perbedaan di atas, maka kerancuan yang terjadi dalam menentukan mana bid’ah dan mana maslahah mursalah bisa kita hindari. Jika salah satu ciri bid’ah di atas kita temukan dalam suatu masalah, maka ketahuilah bahwa ia termasuk bid’ah, demikian halnya dengan mashalih mursalah.
Kemudian perlu diketahui pula bahwa mashalih mursalah terbagi menjadi tiga: dharuriyyah (bersifat darurat), haajiyyah (diperlukan), dan tahsiniyyah (sekedar tambahan/pelengkap). Contoh yang dharuriyyah ialah pembukuan Al Qur’an dalam satu mushaf, sedangkan contoh yang haajiyyah ialah membuat mihrab di masjid sebagai petunjuk arah kiblat; dan contoh yang tahsiniyyah seperti melakukan adzan awal sebelum adzan subuh[8]). Bertolak dari sini, kita akan menjawab semua yang dianggap bid’ah di atas:
 1.       Pembukuan Al Qur’an dalam satu Mushaf
Hal ini termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa alasan; pertama: ia merupakan sarana untuk menjaga keotentikan Al Qur’an dan bukan tujuan hakiki. Karenanya, sekarang Al Qur’an tidak sekedar berwujud mushaf, akan tetapi sudah direkam dalam kaset, CD, dan perangkat elektronik lainnya. Kedua: kendati sebab-sebabnya ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ketika itu ada yang menghalangi para sahabat untuk membukukannya. Karena ketika itu Al Qur’an belum turun seluruhnya, dan sering terjadi nasekh (penghapusan hukum atau lafazh ayat tertentu). Padahal alasan untuk membukukan sudah ada, dan sarana tulis-menulis pun ada. Ketiga: dengan dibukukan dalam satu mushaf, penjagaan akan keotentikan Al Qur’an jadi lebih mudah.
Lebih dari itu, penulisan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan sunnah-nya Khulafa’ur Rasyidin, jadi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah [9]).
2.   Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Al Qur’an.
Sebagaimana pendahulunya, hal ini bukanlah bid’ah namun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah jika dilihat dari tiga sisi. Pertama: ia merupakan cara/wasilah agar orang tak keliru membaca ayat, tapi bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya cara tersebut bisa ditambah/diperlengkap sesuai kebutuhan, seperti tanda-tanda waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya. Kedua: sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena para sahabat semuanya fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka tak perlu pakai titik dan harakat dalam membaca teks Arab, apalagi sebagian besar mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika banyak orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tak mampu membaca huruf Arab yang gundul tanpa titik dan harakat tadi. Maka diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman membaca. Ketiga: tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an.
3.    Membukukan hadits-hadits Nabi.
Ini pun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal. Pertama: ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan[10]). Kedua: belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi fitnah antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, para pendukung dari masing-masing golongan mulai berani memalsukan hadits atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut. Ketiga: tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mudah dibaca dan diamalkan.
Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.
Demikian pula dengan contoh keempat dan kelima yang disebutkan oleh Novel di atas. Itu semua termasuk maslahah mursalah yang berkisar antara dharuriyyah atau haajiyyah, dan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah kalau kita terapkan penalaran tadi.
Contoh lain dari maslahah mursalah yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan mikrofon dan karpet di masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang, makan dengan sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan tahlilan, shalawatan, peringatan 7 harian, 40 harian, 100 harian, dan bid’ah-bid’ah lainnya. Sehingga kita jadi serba susah kalau ingin membid’ahkan hal-hal semacam ini. Untuk itu mari kita bahas permasalahan ini dengan menerapkan kaidah pembeda antara bid’ah dengan maslahah mursalah.
4.    Penggunaan mikrofon di masjid-masjid
Hal ini sama sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa? Pertama: karena  mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin  yang bersuara lantang. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat. Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i. Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.
5.    Berangkat haji dengan pesawat terbang
Hal ini juga sering diidentikkan dengan bid’ah[11]). Tentunya dengan logika yang dangkal pun kita bisa membantahnya… Memang apa sangkut-pautnya antara ibadah haji dan kendaraan yang kita naiki? Adakah seseorang meyakini bahwa dengan naik pesawat hajinya jadi lebih mabrur? Tentu tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat jum’at dengan naik mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya. Sama sekali tak terbetik dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia tumpangi memberikan nilai plus terhadap ibadahnya. Apa lagi kalau dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi belum ada sebab-sebab terwujudnya pesawat terbang. Demikian pula dengan fungsinya yang hanya sebagai sarana transportasi belaka. Juga dari sifatnya yang mengikuti perkembangan teknologi. Kalau dahulu kaum muslimin berangkat haji dengan mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal laut, maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang. Entah kendaraan apa yang akan digunakan seabad kemudian…
Adapun cara makan, jika dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari keyakinan tertentu seperti menghindari jenis makanan tertentu yang dihalalkan dengan niat taqarrub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada anjuran untuk itu; maka ia termasuk bid’ah. Namun jika tidak demikian maka tidak termasuk bid’ah.
Demikian pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah selama tidak menyerupai orang kafir, atau dilakukan cara tertentu yang tidak berdasar kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa hal tersebut dianjurkan dalam Islam.
 -bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah



[1]) Demikian pula setiap orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, pasti ia mencampuradukkan antara bid’ah dengan mashalih mursalah.
[2])  Mana Dalilnya 1, hal 29.
[3]) Lihat Mudzakkirah fi Ushulil Fiqh hal 201, oleh Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithy, cet  Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah Saudi Arabia.
[4])  Para ulama menyebutkan bahwa misi setiap syari’at (maqashidu asy syari’ah) itu ada lima:
  1. Menjaga dien (agama).
  2. Menjaga jiwa.
  3. 3.        Menjaga akal.
  4. Menjaga keturunan.
  5. Menjaga harta. Ada pula yang menambahnya dengan:
  6. Menjaga kehormatan.
(lihat Al Ihkam, 3/274 oleh Al Aamidy, ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al ‘Afify cet. Al Maktabul Islamy; Al Bahrul Muhith (كتبا القياس, تقسيم المناسب) oleh Badruddien Az Zarkasyi; Syarh Al Kaukabul Munier  (باب القياس, الرابع من مسالك العلة المناسبة) oleh Al Futuhy.
[5]) Lihat: Mukhtasar Al I’tisham hal 101 oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar oleh Sayyid ‘Alawi bin Abdul Qadir Assaqqaf, cet 1 1418H  Daarul Hijrah, Riyadh – Saudi Arabia.
[6])  Lihat: Al Inshaf, 26-28.
[7])  Lihat Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’, oleh DR. Muhammad Husein Al Jezany.
[8])  Ibid, hal 29-30.
[9]) Bandingkan dengan bid’ahnya majelis dzikir jama’ah yang sering terlihat di televisi umpamanya. Pertama: hal tersebut adalah tujuan hakiki, bukan sekedar sarana; karenanya ia dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri. Kedua: sebab-sebab untuk mengadakannya sudah ada di zaman Nabi; dan tidak ada yang menghalangi para sahabat untuk melakukannnya. Ketiga: ia mengandung unsur memberatkan karena sifatnya menambah aktivitas ibadah seseorang. Keempat: tidak sesuai dengan misi syari’at dan dalil syar’i, diantaranya firman Allah yang maknanya: “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan khusyu’ dan rasa takut, serta dengan tidak mengeraskan suara, baik di pagi  maupun petang hari…” (Al A’raf: 205).
[10]) Ada yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya (seperti kitab-kitab musnad); ada pula yang berdasarkan topik-topik tertentu dengan hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’, seperti Al Jaami’us Shahih atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim); ada lagi yang khusus berkenaan dengan masalah fiqih (disebut Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dll), dan seterusnya. Ini menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan model tertentu tapi sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.

[11]  Dalam buku Mana Dalilnya hal 31, Novel menggolongkannya dalam bid’ah mubah.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Takbiran Hari Raya

Takbiran Hari Raya

Takbiran Hari Raya

52 Komentar // 1 September 2010
Waktu Mulai & Berakhir Takbiran
a. Takbiran Idul Fitri
Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.
Hal ini berdasarkan dalil berikut:
1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.
2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)
Keterangan:
1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.
2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
  • Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
  • Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
b. Takbiran Idul Adha
Takbiran Idul Adha ada dua:
1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)
Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.
Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:
a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)
Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)
Tafsirnya:
  • Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
  • Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
  • Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)
b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)
d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)
e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)
2. Takbiran yang terikat waktu
Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:
a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)
b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)
c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)
d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)
Lafadz Takbir
Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:
Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:
أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.
Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا
Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.
Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.
Catatan Penting
As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”
Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.
Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran
Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:
a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan
Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)
Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.
b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara
Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.
Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.
c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.
Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)
Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.
d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan
Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.
e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang
Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:
الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…
Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.
***
Penulis: Ammi Nur Baits