Senin, 03 Februari 2014

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM



Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan). Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu kerja.”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut tidak menyebutkan
suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik atau keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah: “Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi dan atau wilayah
kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya Allah. Amiin !
Itu saja. Dan terima kasih.
SUMBER: http://berkarya.um.ac.id/2011/05/01/pemimpinan-

Jumat, 31 Januari 2014

HUKUM PERTANAHAN MENURUT SYARIAH ISLAM* Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**

Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi') tanah. (Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam, hal. 39).
Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 128). Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Para fuqaha itu misalnya Imam Abu Yusuf (w. 193 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, Imam Yahya bin Adam (w. 203 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, dan Imam Abu Ubaid (w. 224 H) dengan kitabnya Al-Amwal. Sebagian ulama seperti Imam Al-Mawardi (w. 450 H) membahas pertanahan dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah yang membahas hukum tata negara menurut Islam. Demikian pula Imam Abu Ya'la (w. 457 H) dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah.
Pada masa modern kini pun tak sedikit ulama yang membahas hukum pertanahan dalam perpektif Islam. Misalnya Abdul Qadim Zalum (w. 2003) dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Athif Abu Zaid Sulaiman Ali dalam kitabnya Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam (1416 H), dan Amin Syauman dalam kitabnya Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa (t.t.).
Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas hukum pertanahan dalam Syariah Islam, khususnya yang terkait dengan kepemilikan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
2. Filosofi Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi --termasuk tanah-- hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya),"Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)." (QS An-Nuur [24] : 42). Allah SWT juga berfirman (artinya),"Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Al-Hadid [57] : 2).
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-'Ammah fil Islam, hal. 19).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),"Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya." (QS Al-Hadid [57] : 7). Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, "Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT." (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.
Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja (Syariah Islam). (Abduh & Yahya, Al-Milkiyah fi Al-Islam, hal. 138). Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT (artinya),"Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." (QS Al-Kahfi [18] : 26).
3. Kepemilikan Tanah dan Implikasinya
Kepemilikan (milkiyah, ownership) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. (idznu asy-Syari' bi al-intifa' bil-'ain). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 73). Kepemilikan tidaklah lahir dari realitas fisik suatu benda, melainkan dari ketentuan hukum Allah pada benda itu. (Abdul Ghani, Al-'Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 8).
Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait dengan tanah, yaitu : (1) zat tanah (raqabah al-ardh), dan (2) manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.
Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu : (1) tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Termasuk tanah usyriah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya`ul mawat). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya (raqabah), maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.
Tanah usyriyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat pertanian) sebesar sepersepuluh (10 %) jika diairi dengan air hujan (tadah hujan). Jika diairi dengan irigasi buatan zakatnya 5 %. Jika tanah pertanian ini tidak ditanami, tak terkena kewajiban zakatnya. Sabda Nabi SAW,"Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh." (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
Jika tanah usyriah ini tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukiman penduduk, tidak ada zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 240).
Jika tanah usyriah ini dibeli oleh seorang non muslim (kafir), tanah ini tidak terkena kewajiban usyr (zakat), sebab non muslim tidak dibebani kewajiban zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal, hal. 48).
Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).
Tanah kharajiyah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah kharajiyah. Namun manfaatnya adalah milik individu. Meski tanah tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 303).
Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap dipungut.
Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb), kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non muslim kepada muslim. Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap memungut kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk Islam. (Zallum, ibid., hal. 47; Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 245).
Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan perdamaian (al-shulhu), maka ada dua kemungkinan : (1) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslimin, kharajnya bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (2) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik mereka (non muslim), kedudukan kharaj sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (Zallum, ibid., hal. 47).
Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian, misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat (usyr). Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena kewajiban zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 247).
Namun kadang kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharaj abadi), lalu tanah itu dijual kepada muslim (akan terkena zakat/usyr). Dalam kondisi ini, kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib dikeluarkan. (Zallum, ibid., hal. 49).
4. Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah
Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui : (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).
Mengenai jual-beli, waris, dan hibah sudah jelas. Adapun ihya`ul mawat artinya adalah menghidupkan tanah mati (al-mawat). Pengertian tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya, menanaminya dengan pohon, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW,"Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari) (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 79).
Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ahmad).
Sedang iqtha`, artinya pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Nabi SAW pada saat tiba di kota Madinah, pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi SAW juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam. (Al-Nabhani, ibid., hal. 119).
5. Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian
Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. (Al-Nabhani, ibid., hal. 136).
Umar bin Khaththab pernah berkata,"Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan." Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma' Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW) dalam masalah ini. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 241).
Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang dimiliki dengan cara-cara lain tas dasar Qiyas. Misalnya, yang dimiliki melalui jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 139).
6. Pemanfaatan Tanah (at-tasharruf fi al-ardh)
Syariah Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan Khalifah Umar bin Khathab memberikan bantuan sarana pertanian kepada para petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka.
Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya." (HR Bukhari).
Jika pemilik tanah pertanian menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, maka hak kepemilikannya akan hilang, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
7. Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang). (Al-Nabhani, ibid. hal. 141).
Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).
Larangan ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.
8. Tanah Yang Memiliki Tambang
Tanah yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan : (1) tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit. (2) tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta). (Al-Nabhani, ibid. hal. 220).
9. Negara Berhak Menetapkan Hima
Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu. Misalnya menetapkan hima pada suatu tambang tertentu, katakanlah tambang emas dan perak di Papua, khusus untuk keperluan membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu. Rasulullah SAW pernah menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya. (Zallum, ibid., hal. 85).
10. Penutup
Demikianlah sekilas beberapa hukum pertanahan dalam Islam. Sudah selayaknya hukum-hukum ini terus menjadi bahan kajian umat Islam, untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan kita guna menggantikan hukum warisan penjajah yang kafir. Wallahu a'lam. [ ]
= = = =
*Disampaikan dalam Pengajian dalam rangka Peringatan Hari Agraria Nasional ke-49, dengan tema Tinjauan Hukum Pertanahan Sesuai Al-Qur`an dan Al-Hadis, Selasa 27 Oktober 2009, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, di Aula Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Jl Trirenggo, Bantul.
**KH. Ir. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, MSI. Alumnus Fakultas MIPA IPB (S-1) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (S-2). Pernah nyantri di PP Nurul Imdad dan PP Al-Azhar, Bogor. Sekarang konsultan hukum Islam di tabloid Media Umat Jakarta (www.mediaumat.com), dosen tetap STEI Hamfara Yogya, dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogya.
DAFTAR BACAAN
Abdul Ghani, Muhammad, Al-'Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.
Al-Baghday, Abdurrahman, Serial Hukum Islam : Penyewaan Tanah Lahan, Kekayaan Gelap, Ukuran Panjang, Luas, Takaran dan Timbangan, (Bandung : Alma'arif), 1987
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, (Makkah : Rabithah al-'Alam al-Islami), 1416 H
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, (t.tp : Hizbut Tahrir), 1963
Al-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), 2003
----------, Al-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2004
Ghadiy, Yasin, Al-Amwal wa Al-Amlak al-'Ammah fil Islam, (Mu`tah : Mu`assasah Raam), 1994
Abduh, Isa & Yahya, Ahmad Ismail, Al-Milkiyah fi Al-Islam, (Kairo : Darul Ma'arif), t.t.
Johansen, Baber, The Islamic Law on Land Tax and Rent, (London-New York-Sydney : Croom Helm), 1988
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukum Islam, (Yogyakarta : Gama Media), 2008
Salasal, Siti Mariam Malinumbay S., The Concept of Land Ownership : Islamic Perspectif, dalam Buletin Geoinformasi, Jilid 2, No 2, hlm. 285-304, Penerbitan Akademik Fakulti Kejuruteraan & Sains Geoinformasi, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai, Desember 2004
Sait, M. Siraj, The Relevance of Islamic Law Land for Policy and Project Design, Makalah dalam Conference on Challenge for Land Policy and Administration, The World Bank, Washington DC, 14-15 Pebruari 2008.
Suhartono, Titik Singgung Hak Tanggungan Atas Tanah dengan Hukum Perwakafan, (t.tp : t.p.), t.t.
Syauman, Amin, Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa, (t.tp. : t.p) : t.t.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2004

Detik-Detik Wafatnya Ibunda Nabi Isa as Posted by Kisah Islami Teladan

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ketahuilah bahwa semua manusia, kelak pasti akan mengalami mati. Akan mengalami kehidupan di alam Barzakh.
Begitu pula dengan Maryam, ibu dari Nabi Isa as.
Di alam kubur, Maryam mendapatkan tempat yang nyaman.



Kisahnya

Nabi Isa as ini pernah merasakan kehilangan yang sangat luar biasa.
Bagaimana tidak, pada saat ibunda tercintanya meninggal, Nabi Isa as tidak berada di sisinya.

Maryam menghembuskan nafas terakhirnya di atas sebuah gunung.
Pada saat itu, Nabi Isa as merasakan kehampaan yang luar biasa. Sosok ibu yang sangat beliau sayangi dan selalu menjadi teman curhatnya telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Begitu sedihnya Nabi Isa as, hingga saat dirinya turun gunung untuk meminta bantuan kaum Bani Israil untuk mengurus jenazah ibunya, tapi tak seorang pun dari mereka yang bersedia membantu.
Nabi Isa as pun kembali naik ke atas gunung dimana jenazah ibunya berada.

Maryam Dimandikan Bidadari

Gelisah dan gelisah yang Nabi Isa as rasakan.
Namun tak lama setelah itu, Allah SWT mengutus Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail agar tutun ke bumi dengan membawa serta bidadari untuk mengurus jenazah ibunda Nabi Isa as.

Setelah bertemu dengan para malaikat dan para bidadari, Nabi Isa as pun segera meminta pertolongan untuk memakamkan jenazah ibunya.
Saat itu, Malaikat Jibril berhadapan dengan Nabi Isa as dan berkata,
"Aku ini sebenarnya adalah Malaikat Mikail dan sahabatku ini adalah Malaikat Jibril. Aku sudah membawakan obat tubuh dan kain kafan dari Tuhanmu dan para bidadari cantik jelita sekarang sedang turun dari surga untuk memandikan dan mengkafani ibumu."

Begitu mendengar penuturan Malaikat Mikail tersebut, Nabi Isa as pun sangat bahagia.
Tak lama kemudian, Malaikat Jibril menggali kubur di atas gunung untuk makam Ibunda Nabi Isa as.

Ketika para bidadari telah sampai di bumi, mereka langsung memandikan dan mengkafani jenazah Maryam.
Setelah itu, jenazah Maryam dishalatkan kemudian dikuburkan.

Nabi Isa as pun berdoa kepada Allah SWT,
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau mendengar kata-kataku dan tidak sedikitpun urusanku yang tersenbunyi dari-Mu. Ibuku kini telah meninggal, sedangkan aku tidak menyaksikan sendiri ketika dia wafat. Olah karena itu, izinkanlah dia (Maryam) berkata sesuatu kepadaku."


Maryam Bahagia Dalam Kubur

Tak lama setelah Ibunda Nabi Isa as dimakamkan, Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya Aku telah memberi izin kepadanya."

Mendengar Firman Allah SWT tersebut, Nabi Isa as pun langsung pergi ke makam ibunya.
Setelah sampai di makam, Nabi Isa as berkata,
"Assalamuualaiki ya ibu, bagaimanakah dengan tempat pembaringanmu dan tempat kembalimu dan bagaiman pula kedatangan Tuhanmu?"

Betapa Sakitnya Saat nyawa Dicabut

Maryam berkata,
"Tempat pembaringanku dan tempat kembaliku adalah sebaik-baik tempat, sedangkan aku menghadap kepada Tuhanku, aku tahu bahwa Dia telah menerimaku dengan rela."
"Wahai ibu, bagaimanakah rasa sakitnya mati?" tanya Nabi Isa as.

"Demi Allah SWT yang telah mengutusmu sebagai nabi dengan sebenar-benarnya, belum hilang rasa pedihnya mati aku rasakan hingga sekarang. Demikian pula rupa Malaikat Maut yang belum hilang dari pandangan mataku. Alaikassalam, wahai kasih sayangku sampai hari kiamat," jawab Maryam yang mengakhiri percakapannya.

Nabi Isa as pun merasa lega karena ibundanya telah mendapatkan nikmatnya kubur.

Nabi Isa pada detik-detik terakhir meninggalnya Maryam, beliau turun gunung untuk mencari kayu bakar dan makanan yang digunakan untuk berbuka puasa nantinya.
Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa Maryam meminta penundaan untuk mati sampai kembalinya Nabi Isa as. namun permintaan tersebut ditolak dengan tegas oleh Malaikat Maut.

Ibunda Maryam meninggal pada saat sedang menunaikan shalat, dikira Nabi Isa as, ibunya tengah menjalankan shalat hingga Nabi Isa pun turut juga melaksanakan shalat hingga pagi menjelang.
Setelah pagi inilah Nabi Isa as baru sadar, bahwa ibunya telah berpulang ke Rahmatullah.
Subhanallah....

Wassalamu'alaikum wr. wrb.