Jumat, 27 September 2013

Makalah Tentang Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Bugis Bone



Makalah Tentang Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Bugis Bone




BAB   I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, sentuhan tekhnologi modern telah mempengaruhi dan menyentuh masyarakat Bugis Bone, namun kebiasaan-kebiasaan yang merupakan tradisi turun menurun bahkan yang telah menjadi Adat masih sukar untuk dihilangkan. Kebiasan-kebiasaan tersebut masih sering dilakukan meskipun dalam pelaksanaannya telah mengalami perubahan, namun nilai-nilai dan makna masih tetap terpelihara dalam setiap upacara tersebut.

Ada dua tahap dalam proses pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap sebelum dan sesudah akad perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, masyarakat Bugis Bone khususnya menganggap bahwa upacara perkawinan merupakan sesuatu hal yang sangat sakral, artinya mengandung nilai-nilai yang suci.
Terdapat bagian-bagian tertentu pada rangkaian upacara tersebut yang  bersifat tradisional. Dalam sebuah pantun Bugis (elong) dikatakan : Iyyana kuala sappo unganna panasae na belo kalukue. Yang artinya Kuambil sebagai pagar diri dari rumah tangga ialah kejujuran dan kesucian. Dalam kalimat tersebut terkadung arti yang sangat penting dalam menjalankan suatu perkawinan.
 B. Rumusan Masalah
            Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa dan bagaimana tahap-tahap kegiatan sebelum acara akad nikah?
2.      Hal-hal apa saja yang dilakukan pada upacara sebelum akad perkawinan?
3.      Hal-hal apa saja yang dilakukan pada upacara setelah akad perkawinan?


BAB   II
PEMBAHASAN
    
 Dalam upacara perkawinan adat masyarakat  Bugis Bone yang disebut ”Appabottingeng ri Tana Ugi”  terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada masyarakat Bugis Bone yang betul-betul masih memelihara adat istiadat.
Pada masyarakat Bugis Bone sekarang ini masih kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang sewajarnya dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna, diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi, dan hubungan antar dua keluarga tidak retak
Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi  :
1.  Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan). Maksudnya calon mempelai laki-laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara bertamu dirumah calon mempelai perempuan, apabila dianggap layak, maka akan dilakukan langkah selanjutnya.
2.  Mapessek-pessek (mencari informasi)
            Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon

mempelai perempuan telah dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki.
3.  Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk  adalah orang yang datang mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta Mallino (duta resmi)

4.  Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi Duta Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki kerumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran pada waktu pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang, kemudian dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah pembicaraan antara To Madduta dengan To Riaddutai, kemudian pihak perempuan pertama  mengangkat bicara,lalu pihak pria menguitarakan maksud kedatangannya.
Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu adatta, srokni tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila demiokian tekad tuan, kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau dengan kata lain pihak perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan pembicaraan selanjutnya yaitu Mappasiarekkeng.
6.  Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut dengan Mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain :
      a.  Tanra esso (penentuan hari)
      b.  Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik)
      c.  Sompa  (emas kawin) dan lain-lain
Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin disuguhi hidangan yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pad umumnya manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian hari.
               a.  Upacara Sebelum Akad Perkawinan
Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah dalam kesibukan. Makin tinggi status sosial dari keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan kepada seluruk sanak keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang wanita dengan menggunakan pakaian adat.
Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin . biasanya tiga malam berturut-turt sebelum hari pernikahan calon pengantin Mappasau  (mandi uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni.
Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”.
Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk :  Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya.
Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk  golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini.
a.  Upacara Sebelum Akad Perkawinan
Setelah prosesi mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki diantar kerumah mempelai wanita untyk melaksanakan akad nikah (kalau belum melakukan akad nikah). Karena pada masyarakat Bugis Bone  kadang melaksanakan akad nikah sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah Kawissoro. Kalau sudah melaksanakan Kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara Mappasilukang dan Makkarawa yang dipimpin oleh Indo Botting.
Setelah akad perkawinan berlangsung, biasanya biadakan acara resepsi (walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu dan sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai agar mereka tidak berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai bermesraan.
Pada acara resepsi tersebut dikenal juga yang namanya Ana Botting, hal ini dinilai mempunyai andil sehingga merupakan sesuatu yang tidak terpisakhkan pada masyarakat bugis bone. Sebenarnya pada masyarakat Bugis Bone, ana botting tidak dikenal dalam sejarah, dalam setiap perkawinan kedua mempelai diapit oleh Balibotting dan Passepik, mereka bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan.
Ana Botting dalam perkawinan merupakan perilaku sosial yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan ciri khas kebudayaan orang Bugis pada umumnya dan orang Bugis pada khususnya, karena kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat aatu kelompok penduduk tertentu. Oleh karena itu, Ana Botting  merupakan kegiatan (perilaku) manusia yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis Bone pada saat dilangsungkan perkawinan.


BAB III
PENUTUP

a.  Kesimpulan
            Dalam acara perkawinan pada masyarakat Bugis Bone ada dua tahap dalam proses pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap sebelum dan sesudah akad perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, masyarakat Bugis Bone khususnya menganggap bahwa upacara perkawinan merupakan sesuatu hal yang sangat sakral, artinya mengandung nilai-nilai yang suci.
Dalam upacara perkawinan adat masyarakat  Bugis Bone yang disebut ”Appabottingeng ri Tana Ugi”  terdiri atas beberapa tahap kegiatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi  :
1.  Mattiro (menjadi tamu)
2.  Mapessek-pessek (mencari informasi)
3.  Mammanuk-manuk (mencari calon)
4.  Madduta mallino
5.  Mappasiarekkeng



b.  Saran
Adat istiadat merupakan sesuatu hal yang sangat berharga dalam suatu kelompok masyarakat, olehnya itu penulis menyarankan agar setiap masyarakat mempertahankan, menjaga dan memelihara adat istiadat tersebut agar tetap ada sampai kapanpun.

Makalah Hukum Adat Masyarakat Batak



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Sistem kekeluargaan di dalam hukum adat ada tiga yaitu Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral. Patrilineal yang merupakan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari keturunan pihak laki-laki yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan bertanggungjawab. Matrilineal, sistem garis keturunan yang menarik garis keturunan dari garis keturunan ibu yang juga jika tejadi sesuatu pihak ibu yang bertanggungjawab. Sistem tersebut dianut oleh masyarakat minangkabau. Sedangkan Bilateral sendiri tidak ada dominasi antara pihak laki-laki dan perempuan. Sistem ini dipakai oleh masyarakat suku jawa.
Banyaknya masalah telah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat terutama hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan adat istiadat yang berbeda mengalami hal tersebut dengan beragamnya etnis budaya yang ada.
Salah satu permasalahan yang terjadi di masyrakat adat tak luput dari masalah kewarisan. Dalam hal ini yang ingin dikaji lebih dalam adalah sistem patrilineal dalam lingkungan masyarakat di Sumatera Utara, suku Batak pada khususnya. Di Sumatera Utara memang mayoritas penduduknya adalah suku Batak. Suku Batak yang dikategorikan sebagai adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Batak yang ingin dikaji lebih dalam adalah Batak Toba. Suku yang mayoritas hidup di Pulau Samosir, Tapanuli Utara dan sekitarnya ini mengenal sistem patrilineal dalam menarik garis keturunannya. Untuk lebih spesifiknya akan dipelajari lebih dalam Suku Batak Toba didaerah Tapanuli Utara mengenai Dalam pembagian warisan orang tua.
2.         Rumusan Masalah
Dengan adanya latarbelakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah :
  1. Bagaimanakah Sistem Patrilineal yang hidup dalam masyarakat Suku Batak Toba didaerah Pulau Samosir, Tapanuli Utara dan sekitarnya?
  2. Bagaimana kah system pembagian waris dalam masyarakat adat batak toba?


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Suku Batak Toba
Di provinsi Sumatera Utara terdapat berbagai suku bangsa yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Salah satu sukubangsa yang terbesar di daerah tersebut adalah suku Batak. Masyarakat Batak sebenarnya terdiri dari beberapa anak suku walaupun secara umum lebih sering hanya disebut orang Batak.
Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak dan batak mandailing. Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan tentang batak toba.
Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Seperti wilayah Silindung yang di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan, Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige, Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu.
Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki perbedaan dalam hal adat – istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat – istiadat juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam adat atau dengan kata lain adat – istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan daerah dan keadaan daerah yang masih menjunjung tinggi sistem adat- istiadat. Daerah yang sangat menjunjung tinggi adat – istiadat tersebut adalah masyarakat daerah Humbang dan daerah Toba. Masyarakat ini biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari budaya dan adat – istiadat mereka.
  1. Sistem Patrilineal
Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Dimana jika terjadi masalah maka yang bertanggungjawab adalah pihak laki-laki. Sistem kekeluargaan ini dianut oleh bangsa Arab, Eropa, dan suku Batak yang hidup di daerah Sumatera Utara.
Kata Patrilineal seringkali disamakan dengan patriarkhat atau patriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti “ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah”. Sementara itu patriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti “ayah” dan archein (bahasa Yunani) yang berarti “memerintah”. Jadi, “patriarkhi” berarti “kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki“. Dari pengertian tersebut jelas terlihat perbedaan makna dari kedua kata tersebut. Patrilineal mengarah ke garis keturunan dan patriarkhat lebih menjurus kearah kekuasaan. Meski kedua hal tersebut sama-sama memiliki kaitan dengan pihak laki-laki.
  1. Hukum Waris Adat
Khususnya di Indonesia banyak dikenal system hokum waris yang dapat diberlakukan dalam masyarakat, ini tidak terlepas dari aspek sejarah bahwa system hokum yang pernah eksis dalam sejarah Negara Indonesia sangat plural (majemuk) , antara lain hukm waris barat, hokum waris islam, dan hokum waris adat.
Hokum waris adat merupakan penggunaan istilah yang berbeda dengan hokum waris lainnya, sehingga terlihat hokum waris adat merupakan system yang berbeda dengan hokum waris islam dan huku waris barat yang sampai sekarang masih banyak dianut oleh anggota masyarakat.
Oleh karenanya, perlu ditegaskan hokum waris adat merupakan salah satu dari sekian banyak system hokum yang ada dalam hokum adat yang bersumber dari akar budaya asli bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
  1. Hukum Waris Adat Batak Toba
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.
Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki – laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang.

BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Dikarenakan system kekerabatan yang digunakan masyarakat batak toba adalah system patrilineal, maka warisan lebih dominan diberikan kepada anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan mendapat warisan berupa hibah dari suaminya.
  1. SARAN
Bagaimanapun system pembagian warisnya, masyarakat batak toba hendaknya mengikuti aturan-aturan adat yang telah ditentukan. Sehingga tidak terjadi perpecahan dan perselisihan mengenai pembagian waris. Dan agar tetap terjaganya kebudayaan batak toba di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA